kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pada UU PNBP yang baru, SDA masih prioritas sumber pendapatan


Jumat, 27 Juli 2018 / 07:16 WIB
Pada UU PNBP yang baru, SDA masih prioritas sumber pendapatan
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani saat rapat paripurna pengesahan UU PNBP


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (26/7) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi UU. Dengan begitu, UU baru ini akan menggantikan UU Nomor 20 Tahun 1997.

Beleid baru itu memuat berbagai kebijakan optimalisasi pengumpulan PNBP. Namun, dari sejumlah ketentuan baru tersebut, dinilai belum bisa menjawab permasalahan kinerja PNBP selama ini yang sangat tergantung dengan sumber daya alam (SDA).

Direktur PNBP Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Mariatul Aini mengakui, UU PNBP yang baru disahkan tersebut belum akan mampu mengatasi ketergantungan terhadap SDA minyak dan gas (migas). Apalagi pemerintah memang masih akan memprioritaskan PNBP dari pengelolaan SDA sebagai kompensasi pemanfaatkan kekayaan alam.

Dengan kebijakan itu, maka berarti pula penerimaaan negara bukan pajak akan sangat tergantung dari harga minyak dunia. Jika kemudian harga minyak naik, realisasi PNBP akan bertambah, demikian juga sebaliknya.

Sedangkan PNBP dari pelayanan, pemerintah memang meminimalkan. "Dari layanan, PNBP-nya sekecil mungkin sebatas untuk  keperluan biaya pemberian layanan," ungkap Aini, Kamis (26/7).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, UU PNBP yang baru hanya untuk memperkuat landasan hukum atas pungutan PNBP yang selama ini sudah berjalan. Pasalnya, beberapa pungutan PNBP sebelumnya hanya berlandasarkan peraturan menteri atau peraturan pemerintah. "Masih ada pungutan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat," katanya saat sidang paripurna DPR.

Sejumlah ketentuan baru ada dalam UU ini, antara lain adanya berwenang menteri untuk menetapkan tarif PNBP.  Artinya, tarif PNBP bisa diatur melalui peraturan menteri, berubah dari aturan lama yang harus melalui peraturan pemerintah (Perpres).

UU baru juga melandasi ragam tarif PNBP yang berbentuk spesifik dan ad valorem. Tarif spesifik berarti menggunakan angka yang jelas. Misalnya, PNBP untuk perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK) roda empat Rp 100.000. Sedangkan tarif ad valorem adalah perhitungan tarif berdasarkan persentase.

UU baru juga  mempertegas sanksi bagi wajib bayar yang lalai atau sengaja menghindari pembayaran PNBP, termasuk membayar lebih kecil dari ketentuan. Di aturan lama, sanksi berupa pidana penjara paling lama setahun dan denda maksimal 2x dari PNBP terutang. Aturan baru, sanksi berupa pidana penjara paling singkat 2 tahun dan maksimal 6 tahun, serta denda sebanyak 4x dari PNBP terutang.

Namun UU baru ini tidak menambah obyek PNBP. Obyek PNBP masih terbatas pada pemanfaatan SDA, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana, dan hak negara lainnya.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun melihat, UU PNBP yang baru tersebut akan mendorong kementrian dan lembaga pemerintah untuk melakukan penyempurnaan tata kelola dan evaluasi PNBP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×