Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) menyayangkan penerbitan Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 23/PRT/M/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Sebab, aturan tersebut dinilai tidak seimbang antara hak dan kewajiban pemilik rumah susun.
Ketua P3RSI Adjit Lauhatta mengatakan, dalam penerbitan aturan tersebut semestinya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan hunian vertikal.Namun, dalam penyusunan aturan ini, para pengelola rusun tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan.
Salah satunya adalah ketentuan mengenai hak suara dalam pasal 19 Permen PUPR No 23/2018 yang terkait dengan pengambilan keputusan pemilihan pengurus dan pengawas PPPSRS. Menurut Adjit, hak suara ini sangat penting karena dapat menentukan tata kelola dan kenyamanan penghuni rusun dalam jangka panjang.
Sedangkan dalam Permen yang sudah terbit itu, pemilik rusun hanya memiliki satu suara walaupun memiliki lebih dari satu satuan rumah susun. Ketentuan tersebut dinilai tidak adil karena cukup banyak orang yang memiliki rusun lebih dari satu. “Mereka telah membayar segala kewajiban sesuai dengan jumlah rusun yang dimiliki, tapi hak suaranya cuma satu, apakah itu fair,” kata Adjit dalam siaran persnya, Jumat (16/11).
Seharusnya, lanjut Adjit, antara hak yang dimiliki juga proporsional dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika aturannya seperti ini diterapkan, Adjit khawatir, justru akan mendorong adanya kecurangan pemilik rusun dengan cara mendaftarkan rusun dengan nama yang berbeda-beda. “Ini akan menimbulkan masalah baru, di antaranya kesulitan petugas pajak dalam melacak harta seseorang," kata Adjit.
Hal senada diungkapkan pakar hukum properti Erwin Kallo. Menurutnya aturan yang membatasi hak suara pemilik rusun itu tidak mencerminkan asas keadilan. Padahal si pemilik tetap membayar iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) atau kewajibannya sebanyak unit yang ia miliki.
Pemangkasan hak suara ini disinyalir dilakukan untuk menjegal para pengembang untuk menguasai rusun yang dibangunnya. Namun pandangan tersebut dinilai tidak berdasar karena pengembang tentu membangun rusun untuk dijual agar bisa untung, bukan untuk dimiliki sendiri.
Menurut Erwin, siapapun yang memiliki unit lebih dari satu, entah itu pengembang atau siapapun, harusnya haknya sama, jangan sampai dia kewajibannya sebanyak sepuluh unit tapi haknya cuma satu suara dalam PPPRS. “Itu kan tidak adil, hak dan kewajiban itu harusnya seimbang. Jangan sampai membatasi hak orang,” katanya.
Selain soal hak suara, ada juga beberapa poin dalam Permen 23 itu yang juga menghilangkan hak-hak pemilik rusun lannya. “Judicial review atas aturan baru ini bisa menjadi langkah hukum yang tepat yang bisa ditempuh saat ini,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News