Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali menguat tajam. Hari ini, Rabu (7/11), kurs rupiah di pasar spot berhasil ditutup menguat 1,45% ke level Rp 14.590 per dollar Amerika Serikat (AS). Sementara, kurs tengah rupiah di Bank Indonesia menguat 0,85% ke level Rp 14.761 per dollar AS.
Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira, berpendapat, gelaran pemilihan umum sela di AS (midterm election) menjadi faktor utama pendorong laju rupiah hari ini.
Kemenangan Partai Demokrat pada parlemen (House of Representatives) AS menjadi perhatian utama para investor dan pelaku pasar.
"Implikasinya, kalau Demokrat menang di pemilu sela ini, Presiden Donald Trump tidak bisa terlalu percaya diri lagi dengan kebijakan yang ugal-ugalan, mulai dari perang dagang hingga reformasi pajak," ujar Bhima saat ditemui, Rabu (7/11).
Jika kebijakan reformasi pajak tak berjalan sekencang sebelumnya, ada potensi pertumbuhan ekonomi AS di tahun mendatang pun terhambat.
Selain itu, Trump juga mulai menunjukkan kemauan untuk mengakhiri ketegangan perang dagang dengan China lewat pertemuan yang diwacanakan bertepatan dengan KTT G-20 di Argentina akhir November nanti.
Sentimen tersebut, kata Bhima, membuat indeks dollar melesu dan investor menghindar dari pasar saham AS. Namun, kondisi ini tak serta merta bisa bertahan hingga akhir tahun lantaran masih ada sentimen lainnya yang masih berpotensi menekan kurs rupiah.
Seperti yang diketahui, pertemuan Bank Sentral AS atau The Federal Reserve pada Desember mendatang akan diiringi dengan kenaikan suku bunga lagi sebesar 25 basis poin. Rencana ini pun masih membayang-bayangi pergerakan nilai tukar rupiah di akhir tahun.
"Rupiah masih berpotensi kembali lagi ke Rp 15.000 per dollar karena bisa jadi The Fed punya efek yang lebih menentukan ketimbang Trump," kata Bhima.
Tambah lagi, dampak pertemuan The Fed bulan depan tak hanya pada kenaikan suku bunganya, tetapi juga gambaran kebijakan bank sentral tersebut ke depan.
Bhima bilang, tahun depan bisa jadi tak hanya The Fed yang mengetatkan moneternya, namun juga bank sentral negara lain seperti Uni Eropa dan Jepang.
"Jadi di 2019, bukan hanya pergerakan Fed Rate tapi juga rate G4 atau empat negara ekonomi terbesar dan arah gerak bank sentralnya yang akan mempengaruhi rupiah," terang Bhima.
Toh, di samping itu, tidak ada yang dapat memprediksi langkah Trump selanjutnya pasca pemilu sela AS berakhir.
"Bisa jadi Trump juga hanya mengendorkan sedikit kebijakan proteksionisnya karena sedang Pemilu, tapi nanti agresif lagi. Kita harus tetap waspada," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News