kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OPSI: Pasca 2021, kenaikan upah diperkirakan tak lagi memperhatikan KHL


Minggu, 22 November 2020 / 20:36 WIB
OPSI: Pasca 2021, kenaikan upah diperkirakan tak lagi memperhatikan KHL
ILUSTRASI. Tuntut kenaikan upah


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar memperkirakan, kenaikan upah paska 2021 tidak lagi seperti tahun sebelumnya.

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Sebab, acuan kenaikan upah minimum pada Pasal 88D ayat (2) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengamanatkan formula perhitungan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

“Tidak diperhitungkan keduanya. Perhitungan berdasarkan nilai KHL (Kebutuhan Hidup Layak) tidak lagi menjadi acuan seperti yang diterapkan di UU Ketenagakerjaan,” kata Timboel dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/11).

Timboel menyebut, KHL yang dihapuskan di UU cipta Kerja ini akan membuat perhitungan upah minimum menjadi bias. Upah minimum tidak lagi mencerminkan tingkat konsumsi riil pekerja dan keluarganya.

“Tentunya ketentuan baru ini akan mengancam daya beli pekerja sehingga akan mempengaruhi konsumsi agregat, dan pertumbuhan ekonomi,” ucap dia.

Baca Juga: Kemenaker: Subsidi gaji termin kedua tahap IV mulai disalurkan ke 2,44 juta pekerja

Apalagi, lanjut Timboel, upah minimum pekerja di sektor mikro dan kecil hanya didasari pada persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat, yang nilainya dipastikan jauh di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku.

Timboel menilai, penentuan nilai KHL dengan semangat dialog sosial tidak akan pernah terjadi lagi bagi pelaku hubungan industrial. Karena memang penentuan upah minimum dijauhkan dari dialog sosial di UU Cipta Kerja.

Padahal, seharusnya KHL dipertahankan dengan membangun terus budaya dialog sosial, sehingga bisa menunjukkan tingkat konsumsi riil pekerja dan peningkatannya pun terukur.

“Tidak berdasarkan tingkat inflasi seluruh barang dan jasa, yang juga menghitung tingkat inflasi barang mewah yang memang tidak dikonsumsi oleh pekerja dan keluarganya,” ungkap Timboel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×