kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

OPSI ingin pemerintah ajak buruh komunikasi lagi soal RUU Cipta Kerja


Kamis, 13 Agustus 2020 / 23:04 WIB
OPSI ingin pemerintah ajak buruh komunikasi lagi soal RUU Cipta Kerja
ILUSTRASI. Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Mereka menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyebut bahwa pemerintah harus menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Hal tersebut mengingat kondisi pandemi virus corona (Covid-19) yang masih melanda bahkan masih ada pertambahan kasus terinfeksi baru.

"Saya kira kluster ketenagakerjaan sangat sensitif terhadap buruh. Demo digelar dengan masif oleh buruh. Mengingat pandemi yang terus melebar hingga Jakarta jadi zona hitam, saya berharap pembahasan kluster ketenagakerjaan tidak dilakukan buru-buru," kata Timboel kepada Kontan.co.id pada Kamis (13/8).

Selain, itu Timboel menekankan penting mengajak komunikasi kembali para buruh atau pekerja. Jangan sampai buruh kembali turun untuk menyampaikan aspirasi di tengah kondisi pandemi yang rawan terpapar Covid-19.

Baca Juga: Pengusaha usul adanya upah khusus bagi industri padat karya dalam RUU Cipta Kerja

"Ajak buruh bicara hingga 100%. Saya kira pemerintah harus bijak melihat kondisi ini. Jangan korbankan buruh sehingga demo akan membuat buruh terpapar covid. Tunda lagi pembahasan di DPR dan terus lakukan komunikasi dengan buruh," kata dia.

Timboel menerangkan, pengupahan menjadi salah satu isu krusial di RUU Cipta Kerja. Beberapa ketentuan seperti upah minimum dipangkas di RUU Cipta Kerja, seperti dihapuskannya upah minimum kabupaten/kota dan sektoral sehingga hanya ada upah minimum provinsi.

Kemudian nominal upah minimum padat karya dapat lebih rendah dari upah minimum provinsi. Upah minimum bagi usaha kecil dan mikro berdasarkan kesepakatan dengan merujuk di atas angka garis kemiskinan. Dihapuskannya ketentuan tentang larangan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum, serta kenaikan upah minimum berdasarkan nilai pertumbuhan ekonomi semata, merupakan hal-hal yang akan menurunkan upah dan melemahkan daya beli pekerja.

Baca Juga: Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia tolak RUU Cipta Kerja, ini tiga alasannya

"Demikian juga diperluasnya outsourcing dan kontrak kerja serta dipermudahnya PHK akan menyebabkan pekerja mudah kehilangan upahnya, sehingga daya beli semakin menurun. Tentunya pemerintah tidak akan terus menerus mensubsidi upah yang rendah tersebut untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat," kata dia.

Maka Timboel menekankan, pemerintah harus mempertimbangkan ulang kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja, sehingga tidak menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×