kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ombudsman RI Minta Menaker Revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022


Selasa, 22 Februari 2022 / 15:08 WIB
Ombudsman RI Minta Menaker Revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022
ILUSTRASI. Demo JHT. KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan terdapat tiga isu krusial yang digunakan dalam menganalisa timbulnya polemik terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Tiga isu tersebut ialah, proses penyusunan kebijakan, teks dan konteks kebijakan, serta strategi pemberlakuannya ke depan.

Pertama, dalam tahap proses penyusunan, Ombudsman melihat ada-tidaknya potensi maladministrasi proses, terutama yang berwujud kepatutan dan prosedur wajib yang harus dipenuhi. Dalam artian sejauh mana kualitas proses penyusunan kebijakan publik secara sungguh-sungguh melibatkan pekerja sebagai pihak terdampak dari pemberlakuan Permenaker yang baru tersebut.

“Partipasi para pihak itu satu, diundang dan didengar, kedua hak untuk dipertimbangkan masukannya, dan untuk disampaikan respon ketika masukannya diakomodir atau tidak diakomodir. Ini yang penting dilakukan setiap pemangku atau pengambil kebijakan," kata Robert dalam Update Publik Ombudsman RI, Selasa (22/2).

Baca Juga: Ekonom: Polemik JHT Akan Mengganggu Pemulihan Ekonomi

Kedua, terkait kebijakan itu sendiri, Ombudsman menyadari bahwa landasan filosofi dan yuridis Permenaker tersebut relatif kuat dan ideal. Namun, sisi sosiologis yang meresonansi realitas empirik kehidupan pekerja tidak tertangkap dengan baik. Maka teks yang ideal akan tak bermanfaat bagi penyelesaian masalah jika tidak memperhatikan konteks besar yang krusial.

“Setiap kebijakan yang baik harus meresonansi suasana kebatinan pihak terutama yang terdampak. Nah, apakah Permenaker itu sensitif dengan kerentanan hidup pekerja yang bergulat dengan situasi bertahan hidup ketika putus kerja. Jelas, pekerja mengalami tekanan PHK, kenaikan UMP yang tertahan tahun ini, serta inflasi yang menggerus daya beli pekerja di tengah minimnya tabungan nyata yang ada," imbuhnya.

Robert mengatakan, narasi yang dibangun bahwa sudah ada alternatif Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), itu sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Di mana kondisi saat ini, JKP tidak inklusif, karena cakupannya masih terbatas pada pekerja formal tetap dengan masa iuran tertentu yang terkena PHK.

"Bagaimana dengan pekerja informal? bagaimana dengan pekerja yang habis masa kontrak? mengundurkan diri dan sebagainya? ini tidak bisa mengakses manfaat JKP. Belum lagi kalau kita bicara soal prosedur administrasi klaim manfaatnya paling lambat tiga bulan sesudah PHK, kalau tidak akan hangus," jelas Robert.

Kemudian jumlah kepesertaan JKP sekitar 10 juta sedangkan JHT mencapai 16 juta. Artinya ada ruang dari keduanya. Maka Robert menilai JKP tidak dapat dinarasikan sebagai instrumen jangka pendek yang dapat menjadi bantalan. Pasalnya JKP dinilai masih belum kokoh saat ini.

Baca Juga: Berikut Tuntutan Partai Buruh Terkait JHT

"Maka tidak bisa narasinya JKP ini menjadi instrumen jangka pendek menjadi bantalan, sementara bantalan itu belum kokoh. Isu ini penting dilihat untuk pengambilan kebijakan dan jadi concern Ombudsman," tegasnya.

Selanjutnya, aspek ketiga, strategi pemberlakuan ke depan. Melihat situasi saat ini, menurut Robert, Permenaker tersebut baiknya diperpanjang masa transisinya dari 3 bulan menjadi setahun bahkan dua tahun untuk pemberlakuannya.

Selain diperkirakan makin terkendalinya pandemi Covid 19 dan mulai pulihnya ekonomi tahun depan, juga agar pelaksanaan JKP sebagai bantalan sosial-ekonomi jangka pendek bisa ditata lebih baik sebagai “katup penyangga” atas kehidupan pekerja/buruh.

"Masa berlaku JHT ini perlu dilihat kembali, tidak tiga bukan seperti yang diatur. Saya melihat mungkin satu atau dua tahun sebagai masa transisi dari JKP sebagai bantalan ekonomi bagi pekerja yang terkena PHK atau berhenti kerja, mereka tentu tidak bisa memperoleh JKP seketika karena masa iuran paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum PHK," ungkapnya.

Maka sembari menunggu masa setahun tersebut untuk bisa klaim manfaat JKP, maka Robert mengatakan JHT diharapkan tidak berlaku terlebih dahulu setahun ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×