Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penetapan upah tahun 2023 menuai polemik. Salah satu penyebabnya adalah adanya dua landasan payung hukum dalam penetapan Upah.
Pertama melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2021 dan kedua peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 tahun 2022.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng mengatakan adanya dualisme payung hukum ini akan berdampak pada ketidakpastian hukum di Indonesia. Selain itu, dualisme juga dapat membenturkan dua kepentingan yang berbeda.
Baca Juga: Selain Kenaikan Upah Pekerja, Pengawasan Implementasinya Juga Penting
"Tidak bisa terhindarkan benturan antara pengusaha dan pekerja," kata Robert dalam konferensi pers daring, Kamis (1/12).
Oleh sebabnya, Ombudsman meminta kepada pemerintah agar segera duduk bersama dengan para stakeholder untuk mencari solusi bersama terkait konflik yang tengah dihadapi.
Untuk diketahui, pemerintah telah menetapkan Permenaker 18/2022 sebagai basis penentuan upah 2023 sejak 17 November lalu saat aturan tersebut diundangkan.
Baca Juga: Ada Daerah yang Kerek UMK 10%, Pengusaha: Industri Bisa Tutup
Dalam aturan tersebut memuat formula perhitungan yang berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu PP. 36/2021.
Penetapan Permenaker ini juga ditolak oleh pengusaha lantaran hasil dari ketetapan UMP dari formula permenaker 18/2022 akan memberatkan pengusaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News