kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

OECD: Sektor kerja informal jadi tantangan ketangguhan ekonomi Indonesia


Jumat, 12 Oktober 2018 / 16:25 WIB
OECD: Sektor kerja informal jadi tantangan ketangguhan ekonomi Indonesia
ILUSTRASI. OECD


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merilis laporan terbaru terhadap prospek (outlook) perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu anggotanya, Indonesia dinilai mengalami pertumbuhan ekonomi yang sehat diukur dari beberapa indikator ekonomi.

Namun, sektor kerja informal menjadi salah satu persoalan yang dinilai dapat menghambat target pertumbuhan ekonomi ke depan jika pemerintah tak segera mengatasi.

Hal tersebut disampaikan Christine Lewis, Head of Indonesia Desk OECD Economics Department, dalam paparan Survei Ekonomi OECD 2018 hari ini, Jumat (12/10) di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.

Christine menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang solid di kisaran 5% per tahun sejak 2013 lantaran didorong oleh konsumsi serta investasi infrastruktur belakangan ini. Ini juga diiringi dengan turunnya angka kemiskinan dan ketimpangan, serta inflasi tahunan yang terjaga dalam rentang 3,5% plus minus 1%.

Kendati demikian, Indonesia masih mengalami sejumlah isu yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi ke depan. Salah satu yang digarisbawahi OECD adalah tingginya jumlah pekerja informal di Indonesia.

"Sekitar setengah karyawan yang memiliki tanggungan dan 70% pekerja diperkirakan masih bekerja di sektor informal," papar Christine, Jumat (12/10).

Pekerjaan informal sendiri cenderung dikaitkan dengan upah yang lebih rendah, lingkungan kerja yang lebih buruk, dan kesempatan pelatihan yang lebih sedikit.

OECD menilai, ketatnya aturan ketenagakerjaan, termasuk mahalnya biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tingginya upah minimum menjadi faktor pembatas penyerapan kerja di sektor formal.

Kepala Penelitian Makroekonomi dan Finansial LPEM UI Febrio Kacaribu menambahkan, dalam tujuh tahun terakhir, jumlah pekerja di sektor primer seperti agrikultur cednerung menurun, sebaliknya ada peningkatan di sektor tersier (tertiary sector).

"Jumlah pekerja di sektor sekunder, dalam hal ini manufaktur, juga meningkat tapi produktivitasnya turun 11%. Ini berbahaya kalau produktivitas manufaktur kita terus turun," ujar Febrio.

Pasalnya, penurunan produktivitas sektor manufaktur bakal berpengaruh pada kemampuan ekspor. Di sisi lain, saat ini, lemahnya ekspor menjadi salah satu faktor melebarnya defisit transaksi berjalan (CAD) yang membuat mata uang terus terdepresiasi.

Adapun, OECD memberi sejumlah rekomendasi yang diharapkan dapat mendukung pergeseran pekerja di sektor informal ke sektor formal.

Antara lain, menurunkan upah minimum bagi kaum muda di kawasan ekonomi khusus, menyederhanakan peraturan usaha, serta memperketat syarat kelayakan pengenaan pajak atas peredaran bruto (turnover tax) hanya untuk perusahaan yang sangat kecil.

OECD juga merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan pendaftaran wajib pajak dengan akses manfaat tambahan yang bersifat non-keuangan.

Febrio menambahkan, formalisasi sektor kerja juga berguna untuk mendorong pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia agar siap memenuhi indikator negara maju dalam hitungan 15 tahun ke depan.

"Saat ini pendapatan per kapita kita masih US$ 3.800, sementara syarat negara maju itu US$ 12.000. Butuh kerja keras di bidang SDM dan pemerintah harus mulai memikirkan produktivitas pekerja," tandasnya.

Namun, ia menyadari ini bukan perkara mudah sebab sektor kerja informal masih sangat mendominasi. Berbagai kebijakan harus secara simultan dilakukan, mulai dari kualitas pendidikan dasar, peningkatan tunjangan guru dan juga evaluasi kualitas guru secara berkala.

"Tantangan cukup besar karena pemerintah berhadapan dengan sekitar 80 juta orang di sektor informal yang harus ditingkatkan produktivitasnya," kata Febrio.

Sekadar informasi, OECD adalah organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi yang beranggotakan 36 negara Eropa dan Amerika Utara ditambah Jepang dan Korea Selatan.

Indonesia, bersama dengan Brazil, India, dan China, atau BRIC yang menjadi key partners dari OECD yang didirikan pada tahun 1961 dan berpusat di Paris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×