Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif pajak untuk meredam dampak ekonomi yang ditibulkan oleh corona virus disease (Covid-19). Kendati demikian, the Organization for Economic and Development (OECD) menilai ada risiko penyalahgunaan insentif.
Setidaknya pemerintah mengganggarkan insentif pajak sebesar Rp 123,01 triliun untuk dunia usaha. Rinciannya, pertama, pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) sebesar Rp 25,66 triliun. Kedua, PPf Final Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) DTP senilai Rp 2,4 triliun.
Baca Juga: Insentif PPh UMKM Ditanggung Pemerintah
Ketiga, pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebesar Rp 14,75 triliun. Keempat, Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 25% dengan alokasi anggaran Rp 14,4 triliun. Kelima, pengembalian pendahuluan PPN senilai Rp 5,8 triliun.
Keenam, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% yang memiliki pagu anggaran senilai Rp 5,8 triliun. Ketujuh, tambahan PPh 21 DPT sebesar Rp 14 triliun. Kedelapan, cadangan dan stimulus lainnya sebesar Rp 26 triliun.
OECD dalam risetnya berjudul Tax Administration; Privacy, Disclosure and Fraund Risk Related to Covid-19 mengatakan penyalahgunaan insentif dalam rangka pandemi perlu diwaspadai, sebab ada potensi besar untuk kesalahan informasi atau kebingungan otoritas pajak.
Hal ini dikarenakan jumlah banyaknya pemohon insentif yang tidak sebanding dengan pegawai pajak.
Baca Juga: Indonesia memompa anggaran demi memacu harapan pertumbuhan saat new normal
Apalagi dalam situasi pandemi saat ini, pegawai pajak menjalani massa kerja work from home, sehingga pengawasan dalam menyeleksi, memberikan, atau mengevaluasi insentif lebih longgar dari waktu biasanya.
Setali tiga uang, kondisi tersebut menyebabkan tiga risiko baik dari eksternal maupun internal.
Pertama, risiko kecurangan identitas dalam hal ini kesalahan memeroleh dan menggunakan data individu, badan usaha, atau badan pemerintah.
Kedua, risiko individu atau badan usaha yang dengan sengaja memalsukan informasi untuk mengurangi pembayaran pajak, mendapatkan pengembalian pajak atau pembayaran serupa.
“Ketiga, risiko kecurangan internal oleh orang-orang yang berada di dalam administrasi, seperti staf, kontraktor, dan pihak tepercaya lainnya,” tulis OECD sebagaimana risetnya yang dipublikasikan pada 26 Mei 2020.
Untuk itu, OECD menyarankan otoritas pajak untuk menyiapkan langkah mitigasi dengan memastikan bahwa semua pembayaran elektronik dapat dilacak secara memadai, dengan pertimbangan khusus diberikan ke rekening bank baru.
Baca Juga: Indonesia memompa anggaran demi memacu harapan pertumbuhan saat new normal
Kemudian, otoritas pajak perlu membuat penilaian risiko baru yang ditimbulkan selama insentif pajak berlangsung guna mendukung pemeriksan.
Selanjutnya, berkomunikasi dengan bank tentang pentingnya verifikasi pemeriksaan dan penerapan aturan anti pencucian uang serta pelaporan transaksi yang mencurigakan.
”Komunikasi tentang hukuman, termasuk hukuman pidana, bagi wajib pajak yang melakukan deklarasi palsu,” tulis OECD sebagaimana risetnya yang dipublikasikan pada 26 Mei 2020.
Baca Juga: Core sebut alokasi dana penanganan Covid-19 masih belum cukup, ini alasannya
Sebagai catatan, jumlah penerima insentif perpajakan meningkat dari 440 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sektor manufaktur dan wajib pajak (WP) Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) menjadi 1.062 KLU dan WP KITE serta WP Kawasan Berikat.
Hal tersebut sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang merupakan perubahan dari PMK 23/2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News