Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia pada September 2024 diprediksi kembali mencetak surplus yang cukup signifikan.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia akan berada di kisaran US$2,5 miliar hingga US$2,6 miliar.
Baca Juga: Neraca Perdagangan Diprediksi Masih Surplus pada September 2024
Bhima menyebut, surplus ini didorong oleh penurunan impor, khususnya pada impor non-migas di sektor bahan baku.
"Penurunan impor bahan baku yang signifikan menunjukkan bahwa permintaan untuk peningkatan produksi di sektor industri manufaktur masih belum optimal," ungkap Bhima kepada Kontan, Minggu (13/10).
Ia menambahkan, penurunan ini dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, terutama di sektor manufaktur.
PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur yang masih berada di bawah angka 50 juga menjadi indikator bahwa pembelian bahan baku untuk industri masih melambat.
Baca Juga: Surplus Neraca Dagang Berlanjut pada Agustus 2024, Ini Pendorongnya
Bhima juga mengingatkan untuk mewaspadai sektor impor migas yang terus menekan defisit.
Meskipun harga minyak mentah relatif rendah, di kisaran US$ 74 per barel, impor migas masih menjadi beban yang cukup besar bagi neraca perdagangan.
Di sisi ekspor, Bhima memproyeksikan akan ada kenaikan, meski tidak signifikan. Kenaikan diperkirakan akan terjadi di beberapa komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO), yang secara tahunan harganya mengalami peningkatan.
Namun, pelemahan permintaan dari negara tujuan ekspor tradisional seperti Tiongkok turut menekan kinerja ekspor Indonesia.
Baca Juga: BPS Catat Ekspor Agustus 2024 Naik 5,97% Menjadi US$ 23,56 Miliar
Bhima juga menekankan bahwa surplus besar yang terjadi tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi yang sehat.
"Surplus yang disebabkan oleh penurunan impor bahan baku justru perlu diwaspadai, karena dapat berdampak pada industri dalam negeri," jelasnya.
Bhima menambahkan, pemerintah tetap harus memitigasi bagaimana agar surplus neraca perdagangan ini mencerminkan kondisi perekonomian yang sehat. Bukan dikarenakan turunnya impor bahan baku.
Selain itu juga harus diwaspadai impor barang konsumsi yang terus meningkat. Salah satunya karena overproduksi dari China sehingga dapat menjuak dengan harga murah di Indonesia.
"Itu bisa memukul lebih dalam lagi industri dalam negeri dan juga pelaku usaha UMKM, jadi perlu ada pengawasan baik impor barang yang legal maupun yang illegal," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News