Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para ekonom memperkirakan adanya kenaikan inflasi awal Kuartal II-2025 jika dibandingkan periode awal kuartal I sebelumnya yang masih cenderung mengalami deflasi. Rerata Ekonom meramal Laju inflasi berada di rentang 2%-3,5% sepanjang Kuartal-II tahun ini.
Salah satu penyebab naiknya inflasi di Kuartal II-2024 adalah berakhirnya insentif diskon tarif listrik sebesar 50% pada 28 Februari 2025, dan tarif listrik kembali normal per 1 Maret 2025. Adapun per Februari 2025, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48% secara bulanan (month to month/mtm) dan 0,09% secara tahunan (year on year/yoy) serta 1,24% ssecara year to date menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah memperkirakan laju inflasi di Kuartal II-2025 terutama April akan berada di kisaran 2,5% - 3,5%. Namun Piter menilai laju inflasi pada Maret akan lebih tinggi dibandingkaan bulan April, mengingat adanya faktor Ramadhan dan Lebaran Idulfitri, ditambah tarif listrik yang kembali normal.
"Bulan April pasca lebaran, inflasi akan kembali menurun. Tetapi diperkirakan tidak akan terjadi deflasi. Inflasi pada triwulan II akan terjaga rendah di tengah terbatasnya permintaan akibat penurunan daya beli dan juga kondisi perekonomian yang masih belum pasti," ungkap Piter kepada Kontan, Senin (24/3).
Baca Juga: Inflasi Februari Diprediksi Lebih Rendah, Proyeksinya di Kisaran 0,5% - 0,7%
Kepala Pusat Makroekonomi INDEF, Rizal Taufiqurrahman menyampaikan, M. Rizal Taufikurahman menyampaikan, dengan mempertimbangkan tren inflasi sebelumnya dan faktor musiman, inflasi April diperkirakan berada di kisaran perkiraan 2,5% – 3,0% secara tahunan (yoy).
"Artinya pelan-pelan akan recovery, dengan kecenderungan meningkat dibanding bulan sebelumnya. Dengan kondisi pasar kerja dibuka lebar dan mulai menyerap tenaga kerja banyak," ungkap Rizal kepada Kontan, Senin (24/3).
Menurutnya, proyeksi inflasi di awal Kuartal II-2025 perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari sisi kebijakan maupun dinamika pasar.
Ia menyebut dengan berakhirnya diskon tarif listrik memang berpeluang memberikan tekanan inflasi, terutama pada kelompok pengeluaran perumahan dan energi. Namun, dampaknya tidak bisa dilihat secara terisolasi dan inheren. Hal ini karena inflasi merupakan hasil dari interaksi berbagai variabel, termasuk harga komoditas global, nilai tukar rupiah, dan daya beli masyarakat.
"Jika daya beli masih terbatas akibat pemulihan ekonomi yang belum merata, maka kenaikan inflasi akibat normalisasi tarif listrik cenderung lebih moderat," ungkap Rizal.
Di sisi lain, menurut Rizal faktor psikologis dalam mekanisme harga juga berperan antara perusahaan atau pelaku usaha mungkin memanfaatkan momen kenaikan biaya listrik untuk menyesuaikan harga barang dan jasa lainnya, sehingga efeknya bisa lebih luas dari sekadar tarif listrik itu sendiri.
Selain itu, proyeksi inflasi di Kuartal II-2025 juga harus mempertimbangkan keseimbangan antara tekanan inflasi dari sisi biaya (cost-push inflation) dan permintaan (demand-pull inflation). Kenaikan harga pangan pasca-Idulfitri adalah pola musiman yang hampir selalu terjadi, tetapi intensitasnya bergantung pada kesiapan pasokan dan distribusi.
Baca Juga: BI Sebut Daya Beli Masyarakat Masih Aman pada Awal 2025, Inflasi Inti Capai 2,36%
Jika ada gangguan rantai pasok, seperti cuaca ekstrem atau kebijakan impor yang tidak fleksibel, maka dampaknya terhadap inflasi bisa lebih signifikan.
Selain itu, ketidakpastian harga energi, khususnya BBM, menjadi faktor krusial. Jika pemerintah menyesuaikan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi tekanan fiskal, maka efeknya bisa sangat besar terhadap inflasi, terutama pada sektor transportasi dan distribusi barang. Namun, pengendalian harga oleh pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia juga akan berperan sebagai alat mitigasi.
"Pertanyaannya adalah seberapa efektif kebijakan tersebut dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan daya beli masyarakat? Untuk itu, kedua variabel ini harus dijaga dalam upaya stabilisasi dan menjaga inflasi," jelas Riefky.
Sementara itu Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky juga memperkirakan laju inflasi terutama di April 2025 masih akan berada di range inflasi maksimal yang ditargetkan Bank Indoensia sampai 2,5% untuk tahun 2025.
"Proyeksi inflasi di Kuartal II-2025 sebetulanya tidak banyak, karena faktor seasonal-nya tidak banyak, tapi pemicu inflasi kemungkinan subsidi listrik yang sudah tidak ada, jadi bisa kembali di range 1,5% sampai 2%, " ungkap Riefky kepada Kontan.
Di sisi lain, Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky memperkirakan inflasi akan berada di rentang -0,5% sampai 1% di awal Kuartal II-2025. Menurutnya laju inflasi ini didorong oleh lonjakan harga emas batangan dan pehiasan.
"Kalau dilihat di situasi jelang lebaran, mudik tidak terlalu antusias, belanja juga gak heboh. Jadi, mungkin akan menurun angka deflasinya, atau kalopun inflasi di angka yg gak setinggi biasanya terjadi di masa lebaran," ungkap Yanuar kepada Kontan.
Baca Juga: BPS: Inflasi Harga Perdagangan Barang Turun Menjadi 0,13% Pada Februari 2025
Selanjutnya: Transisi Energi Belum Optimal, Begini Rekomendasi Saham Emiten Pengembang EBT
Menarik Dibaca: Gabung elevAIte, Jobstreet by Seek Dorong Keterampilan AI Talenta Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News