Reporter: Andi M Arief | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Korupsi PLTU Riau yang baru saja terjadi merupakan bagian dari catatan panjang kasus korupsi infrastruktur bidang pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, ada 241 kasus pada 2017 yang terkait dengan korupsi pada sektor infrastruktur dalam hal pengadaan.
Akibatnya, negara merugi Rp 1,5 triliun dengan nilai suap sejumlah Rp 34 miliar. Sebagai pembanding, pada 2016, kerugian negara terhadap korupsi pengadaan untuk infrastruktur hanya Rp 680 miliar, atau naik sebesar 120,5% pada 2017.
"Dalam masalah PLTU Riau, hal tersebut terkait dengan korupsi pada proses pengadaan di pemerintah," papar Wana kepada Kontan.co.id, Selasa (17/7).
Dari seluruh kasus korupsi yang ada pada 2017, 27,4% terjadi pada sektor infrastruktur. Terlebih, korupsi pada sektor infrastruktur menempati posisi teratas dalam ranking pengembangan kasus terbesar 2017, yaitu kasus suap proyek jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
Korupsi dalam proyek transportasi menempati tempat pertama dengan nilai kerugian negara Rp 575 miliar dalam 38 kasus, diikuti oleh infrastruktur pendidikan dengan nilai Rp 43,4 miliar dalam 14 kasus dan infrastruktur desa dengan nilai Rp 7,9 miliar dalam 23 kasus.
Sepanjang 2017, ada 158 kasus korupsi yang membuat negara merugi Rp 1,1 triliun dengan nilai suap Rp 84 miliar. Dalam kasus korupsi sektor infrastruktur, ada dua hal yang menjadi terhambat, yaitu pembangunan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah mengatakan, ICW melihat bahwa kasus infrastruktur menjadi persoalan di Indonesia.
Melihat fenomena ini, Wana menjelaskan, masih ada celah yang kerap digunakan oleh para oknum untuk menyelewengkan uang negara. Yang jadi persoalan, imbuh Wana, adalah bagaimana pemerintah menerapkan penggunaan sistem pencatatan terpusat.
"Infrastruktur itu perlu menggunakan e-catalog (dan) e-purchasing agar setiap proses pengadaan ini dapat terpantau," saran Wana. "Memang yang menjadi kendala adalah masih belum optimalnya penggunaan sistem (digital) terkait (proses) pengadaan yang mengakibatkan adanya celah untuk korupsi."
Di Pulau Jawa
ICW mencatat, dari 158 kasus korupsi infrastruktur pada 2017, 21 kasus terjadi di Jawa Barat (13%), 18 di Jawa Timur (11%), dan 11 di Sumatera Utara (6.9%). Menanggapi hal tersebut, Wana menerangkan, bukan hanya pada 2017, namun ketiga provinsi tersebut kerap masuk ke dalam tiga besar wilayah yang sering terjadi kasus korupsi. "Memang jumlah sebaran Kabupaten sangat banyak dibandingkan dengan wilayah lainnya," lanjut Wana.
Terlebih, sambung Wana, proyek pembangunan di setiap Kabupaten terhitung banyak. Hal ini ditunjukkan oleh catatan ICW yang merekam, ada 73 kasus korupsi infrastruktur di tingkat pemerintahan Kabupaten, dibandingkan dengan
25 kasus di Pemerintahan Desa dan 19 kasus di Pemerintahan Kota. Terlebih, walaupun Pemerintah Kabupaten juga melibatkan unsur masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), hal itu hanya sebatas formalitas.
"Bicara tentang pengawasan, masyarakat di desa, sebagai penerima manfaat, (lebih) sering dilibatkan dalam proses penyusunan pembangunan dan dapat memantau (jalannya pembangunan)," ungkap Wana.
Dalam hal pengawasan, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menambahkan, pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur belum efektif, seperti yang dilakukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) dan daerah (TP4D).
"(Mereka) lebih diarahkan untuk mengatasi persoalan hukum yang menghambat proyek," ujar Zainal.
Faktor lain yang menyebabkan maraknya kasus korupsi dalam sektor infrastruktur adalah banyaknya jumlah proyek infrastruktur yang jadi andalan Presiden Jokowi.
Pasalnya, Presiden Jokowi menargetkan akan merampungkan proyek infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN) sebanyak 170 proyek, baik parsial atau keseluruhan, pada 2020.
“Sehingga potensi adanya pelanggaran juga besar. (Terlebih) beberapa proyek dipaksakan selesai 2019, sehingga membuka celah untuk bermain-main (anggaran negara)" tutur Zainal. "Termasuk korupsi sebagai cara memuluskan proyek,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News