Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Seperti diketahui, dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia. Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Dualisme ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan baik di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk lemahnya kepastian hukum atas pengakuan tanah masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut," jelasnya.
Baca Juga: Gunakan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Tak Wajib Bayar PNBP? Ini kata Pakar
Padahal, lanjutnya, sejak zaman Belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, yaitu Indonesisch bezitsrecht. “Maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada zaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia,” kata Budi Mulyanto.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo mengatakan, penegakan hukum yang mengatasnakan klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia.
Masak perusahaan yang sudah punya HGU dituduh menyerobot lahan. Dari aturan mana kok bisa pemegang HGU dituduh menyerobot kawasan hutan dan dituduh korupsi.
Hingga saat ini dua pertiga daratan di Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News