Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat pungutan pajak dari rokok elektronik masih berdampak mini terhadap penerimaan pajak.
Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa penerapan pajak rokok elektrik bukan untuk kepentingan penerimaan, melainkan untuk keadilan terhadap pelaku industri. Pasalnya, pengenaan pajak rokok pada industri konvesional yang melibatkan para petani tembakau dan buruh pabrik rokok telah diberlakukan sejak 2014.
"Pertimbangan utama dari pengenaan pajak rokok itu bukan aspek penerimaan, tapi lebih memberikan keadilan atau level of playing field," ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (3/1).
Baca Juga: Berbagai Kebijakan Pemerintah Tak Signifikan dalam Mengerek Inflasi 2024
Di sisi lain, penerimaan dari pengenaan pajak rokok elektrik ini diestimasikan juga sangat kecil, yakni Rp 175 miliar pada 2023, atau 10% dari cukai rokok elektrik yang sebesar Rp 1,75 triliun.
Sementara itu, penerimaan cukai rokok elektrik juga masih mini, yaitu hanya 0,82% dari total penerimaan cukai hasil tembakau (CHT). "Sehingga kalau tahun ini dipungut pajak rokok elektrik, itu besarnya hanya sekitar Rp 175 miliar," katanya.
Sebagai informasi, Kemenkeu mulai menerapkan pajak untuk rokok elektrik pada 1 Januari 2024. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.
Baca Juga: Kendalikan Konsumsi, Pemerintah Berlakukan Pajak Rokok Elektrik
"Ketentuan mengenai pajak rokok atas rokok elektrik sebagaimana dimaksud (...) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024," bunyi Pasal 39 beleid tersebut.
Merujuk pada beleid tersebut, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk rokok elektrik. Adapun tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News