kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Muhammadiyah berikan empat poin masukan terhadap RUU KUP


Kamis, 26 Agustus 2021 / 20:56 WIB
Muhammadiyah berikan empat poin masukan terhadap RUU KUP
ILUSTRASI. RUU KUP


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Muhammadiyah memberikan empat poin masukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sekertaris Ekomomi dan Kewirausahaan Pengurus Pusat (PP)  Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna  menjabarkan, pertama, penghasilan di atas Rp 5 miliar perlu dikenakan tarif pajak sampai 45% dari yang saat ini berlaku 30%.

Menurut dia, dari kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) tersebut akan mampu meningkatkan kepatuhan dan pendataan wajib pajak yang valid.

Setali tiga uang, Mukhaer yakin, hal tersebut akan mendorong penerimaan PPh OP secara signifikan di tahun-tahun berikutnya. Seiring dengan perbaikan data otoritas pajak, terlebih apabila wacana agenda pengampunan pajak digelar.

Baca Juga: Soal RUU Perpajakan, begini masukan dari YLKI

Kedua, terkait pajak karbon. Muhammadiyah menyarankan, implementasinya kelak hanya dilakukan kepada industri ekstraktif yang menghasilkan emisi karbon seperti pertambangan.

Ketiga, Muhammadiyah mendukung adanya penerapan cukai plastik sebagaimana yang terdapat dalam RUU KUP. Namun, Mukhaer bilang, pihaknya berharap perluasan barang cukai juga perlu menyasar kepada minuman berpemanis.

Harapannya, dengan adanya dua barang kena cukai (BKC) tersebut, pemerintah tak lagi memiliki ketergantungan terhadap cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok.

Keempat, menghapus pengenaan pajak terhadap organisasi keagamaan seperti Muhammadiyan dan Nahdatul Ulama (NU).

Kata Mukhaer, usulan ini bisa dimasukkan dalam RUU KUP, atau pemerintah mengeluarkan aturan pelaksana terkait yang mengatur peraturan perpajakan organisasi keagamaan. Tujuannya, untuk memperjelas ketentuan yang sudah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Baca Juga: Simak kata Kadin perihal rencana pajak karbon

Sebab, Mukhaer menjelaskan Muhammadiyah bukan korporasi, yayasan, atau koperasi. Tapi Muhammadiyah adalah perkumpulan. Dasar hukum berdirinya Muhammadiyah yakni lewat Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan dan dalam Pasal 83 huruf b UU 17 /2013.

“Perkumpulan itu tidak berorientasi laba, tidak ada SHU, dividen. Kalau ada keuntungan itu untuk subsidi silang. Untuk investasi lagi untuk bangun Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang baru,” kata Mukhaer kepada Kontan.co.id, Kamis (26/8).

Ia mencontohkan, dari keuntungan yang diperoleh dari perguruan tinggi atau rumah sakit Muhammadiyah, sebesar 75% untuk reinvestasi, 15% untuk operasional, dan 10% untuk persyarikatan Muhammadiyah. Sehingga, ia menilai seharusnya organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan sebagaimana tidak dikenakan pajak.

Selanjutnya: YLKI sarankan pemerintah naikkan cukai rokok dan kenakan cukai minuman berpemanis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×