Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan gugatan uji materi Pasal 57 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, Kamis (13/10/2016).
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 135/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat yang diwakli oleh Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) diwakili oleh Ariani, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Titi Anggraini, dan Khorunnisa Nur Agustyati.
Pemohon menggugat Pasal 57 ayat 3 huruf a UU 8/2015 yang berbunyi "Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau ..."
Pemohon menilai, frasa "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya" dalam pasal tersebut telah menghilangkan hak memilih seorang warga negara untuk dapat berpartisipasi di dalam memilih calon kepala daerahnya.
Selain itu, ketentuan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih.
Padahal, menurut pemohon, gangguan psikososial atau disabilitas gangguan mental bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat. Namun, gejala gangguan mental dapat muncul dan hilang tanpa ada yang dapat memastikan.
Para Pemohon menilai, syarat yang tercantum dalam ketentuan Pasal 57 ayat 3 huruf a UU 8/2015 menjadi tidak relevan. Sebab, menurut pemohon, bisa saja terjadi kasus bahwa pengidap psikososial atau disabilitas gangguan mental sudah sehat kembali ketika jangka waktu penetapan daftar pemilih telah selesai.
Sebagai warga negara, menurut pemohon, orang tersebut telah kehilangan hak untuk didaftar menjadi pemilih. Maka dari itu, menurut pemohon, pasal tersebut sedianya dibatalkan.
Ketua majelis sidang, Arief Hidayat, dalam pembacaan putusan menyampaikan, permohonan pemohon diterima untuk sebagian. "Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Arief dipersidangan.
Arif menyampaikan, ketentuan frasa "tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya" dalam Pasal 57 ayat 3 huruf a UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen dengan ketentuan surat atau pernyataan dari profesional bidang kesehatan jiwa.
"(Pasal tersebut) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatannya tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesionalitas yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum," kata dia.
Pertimbangan majelis
Hakim anggota, Wahiduduin Adams, sebelumnya menyampaikan pertimbangan majelis sidang terkait putusan tersebut. Ia mengatakan, Mahkamah berpendapat bahwa gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua hal dengan karakteristik berbeda.
"Gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua kategori yang beririsan, namun tidak selalu dapat dipersamakan begitu saja," kata dia.
Ia mengatakan, gangguan ingatan (memori) adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik, yaitu otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori.
Sedangkan gangguan jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik manusia belaka. Wahidudin melanjutkan, masing-masing jenis gangguan, baik gangguan jiwa maupun gangguan ingatan, memiliki turunan yang beragam.
"Dengan demikian menurut Mahkamah penggunaan tanda baca '/' dalam frasa 'gangguan jiwa/ingatan' yang tercantum pada Pasal 57 ayat 3 huruf a harus ditegaskan bukan dalam konteks menyamakan antara gangguan jiwa dengan gangguan ingatan, melainkan adalah pengelompokan dua kategori berupa gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang dikecualikan dari warga negara yang berhak untuk didaftar dalam daftar pemilih," kata dia.
Adapun dari sisi kualitasnya, kata Wahidudin, gangguan jiwa dan atau gangguan ingatanĀ secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga jenis tingkatan (stadium), yaitu gangguan ringan, gangguan sedang, dan gangguan berat.
"Masing-masing tingkatan kualitas gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan demikian memiliki perbedaan tingkat pemulihan, baik dari sisi kecepatan pemulihan maupun dari sisi kualitas pemulihan," kata dia.
Ia menambahkan, seandainya yang dimaksud oleh DPR dan Pemerintah selaku pembentuk UU bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan pemilih adalah orang dengan psikosis (gila) dengan ciri-ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, maka tidak perlu diatur secara khusus.
Sebab, kata Wahidudin, orang dengan kondisi kejiwaan seperti itu tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih. "Karena orang dengan psikosis demikian memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan suara," kata dia.
(Fachri Fachrudin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News