Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tergesa-gesa dalam membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Iklan Rokok.
Menurut Achmad, implementasi Pasal 446 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 belum memiliki panduan operasional yang jelas. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu pemutusan konten secara serampangan dan tidak proporsional.
"Ibarat orang menebang pohon di hutan gelap tanpa lampu senter, kebijakan ini bisa menebas bukan hanya batang beracun, tetapi juga pepohonan sehat yang menopang ekosistem media dan ruang diskusi publik," kata Achmad kepada wartawan, Senin (8/9/2025).
Baca Juga: Polemik Kuota Hangus, Operator & Komdigi Harus Sosialisasi dan Mengedukasi Masyarakat
Achmad, yang juga pendiri Narasi Institute, menyoroti bahwa PP 28/2024 tidak menjelaskan secara rinci definisi media sosial berbasis digital maupun batasan iklan rokok di platform terbuka seperti Instagram, TikTok, YouTube, atau media daring berbasis artikel.
Ketidakjelasan tersebut, menurutnya, membuka ruang interpretasi yang terlalu luas dan rawan menimbulkan kesalahan.
Ia juga mempertanyakan kewenangan Kemenkes dalam mengatur konten digital secara langsung, serta menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga dan penyusunan SOP yang terukur.
"Pengalaman kita menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tanpa socialization dan readiness assessment berpotensi menimbulkan resistensi," ujarnya.
Baca Juga: Pemberdayaan Masyarakat Bisa Menjadi Penopang Ekonomi Daerah
Lebih jauh, Achmad mengingatkan risiko kerugian ekonomi bila pembatasan konten dilakukan secara tidak proporsional. Media daring maupun kreator konten, katanya, bisa kehilangan pendapatan meskipun konten mereka bukan promosi langsung produk tembakau.
"Publik perlu diyakinkan bahwa kebijakan ini berbasis data kesehatan publik dan evidence-based policy making, bukan semata keputusan moralistik atau tekanan anti-industri," tegasnya.
Akademisi Universitas Lampung, Vito Frasetya, menyoroti persoalan serupa. Ia menilai kebijakan ini belum jelas dalam mendefinisikan promosi dan iklan rokok, bahkan tidak konsisten dengan aturan untuk media konvensional seperti televisi.
"Misalnya, apakah iklan layanan kesehatan yang menyebutkan kadar rokok juga tidak boleh? Ini belum ada kejelasan," ujarnya.
Menurut Vito, pelaku industri media membutuhkan kejelasan teknis mengenai batasan konten yang dilarang. "Apakah tidak boleh menampilkan produknya? Atau jenisnya? Atau ada batasan lainnya? Jadi belum jelas, narasinya belum kuat," katanya.
Ia juga menyoroti minimnya sosialisasi aturan ini, sehingga banyak pelaku usaha media daring dan media sosial belum memahami substansinya. "Dibutuhkan pula sosialisasi yang lebih luas agar ada pemahaman bersama dengan tujuan semua pemangku kepentingan bisa menjalankannya dengan cara lain yang lebih kreatif serta efektif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan masyarakat," tambahnya.
Baca Juga: Daya Beli Masyarakat Mengkhawatirkan
Kebijakan pengendalian iklan rokok di media siber ini merupakan implementasi PP 28/2024, turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang berlaku sejak 26 Juni 2025.
Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Mediodecci Lustarini, menjelaskan bahwa pemutusan akses atau pemblokiran iklan rokok di media sosial baru dapat dilakukan berdasarkan pengaduan dari Kemenkes.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan bahwa promosi rokok di media daring yang tidak terkendali berpotensi berdampak pada anak-anak.
"Kita akan ingatkan bahwa promosi ini berdampak pada anak-anak. Kami juga akan komunikasi langsung dengan platform tempat pelanggaran ditemukan,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ekonom Ingatkan Pemerintah, Minimnya Sosialisasi Kebijakan Bisa Munculkan Resistensi Masyarakat.
Selanjutnya: Anggaran BGN Jadi Rp 268 Triliun di 2026, Ekonom: MBG Program yang Sangat Boros
Menarik Dibaca: Festival Belanja Lazada 9.9, dari Diskon hingga Voucher Belanja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News