Reporter: Ratih Waseso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Migrant Care menyoroti pekerja migran Indonesia yang dsekap di Kamboja. Migran Care menyebut, mayoritas pekerja migran Indonesia yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dari sosial media seperti Facebook.
Para korban terjebak dalam sindikasi trafficking yang dilakukan oleh jaringan di Indonesia dan terkoneksi dengan jaringan yang ada di Kamboja melalui media sosial.
Selain Facebook, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menerangkan, perekrutan dilakukan oleh para calo, yang mendekati korban ke komunitas langsung.
"Jadi online dan offline. Bahkan mereka secara intensif itu melakukan komunikasi lewat Messenger Facebook, bahkan proses-proses keberangkatan mereka itu juga diproses melalui Messenger Facebook jadi ini luar biasa," kata Anis dalam konferensi pers virtual, Senin (1/8).
Baca Juga: Kamboja dan China Bantah Bangun Fasilitas Rahasia untuk Angkatan Laut China
Dari perekrutan melalui sosial media tersebut, Anis menilai, upaya pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan stakeholder terkait lainnya belum maksimal dalam mengatasi iklan lowongan pekerjaan yang menjadi indikasi TPPO tersebut. Pemerintah dinilai belum maksimal menggunakan sosial media yang dimiliki untuk mengonter iklan-iklan lowongan pekerjaan yang berindikasi TPPO.
"Dari Facebook enggak ada counter pemerintah, BP2MI, Kemenaker dan lain-lain terkait dengan yang seperti ini, narasi hampir tidak ada bahwa ini adalah calo ini bodong," imbuhnya.
Oleh karena itu, Migrant Care meminta agar pemerintah menggunakan seluruh sumber dayanya, untuk meminimalisir kerentanan dan mengampanyekan secara lebih luas tentang migrasi yang aman dan bahaya trafficking baik melalui modus online dan lainnya.
"Optimalisasi media sosial yang dimiliki pemerintah. Kalau melihat Instagram dan Facebook pemerintah itu paling banyak mengupload kegiatan menterinya kegiatan pejabatnya. Tidak banyak yang menginformasikan tentang bahaya-bahaya trafficking, bagaimana migrasi aman termasuk wacana satu sistem itu tidak terinformasi. Ini kedepan yang perlu didorong," jelasnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo juga menilai, pemerintah sangat pasif dalam memaksimalkan platform sosial media untuk meng-counter informasi terhadap membanjirnya perekrutan yang tidak sesuai prosedural.
Aplikasi yang berkaitan dengan informasi migran saja saat belum banyak diunduh. Wahyu menyebut hal ini jadi bukti bahwa, pemerintah sangat tidak serius memaksimalkan penggunaan teknologi informasi untuk mengatasi potensi TPPO lewat online.
"Kita lihat di Instagramnya Kementerian Ketenagakerjaan serta Instagramnya dan BP2MI itu lebih banyak profiling pejabatnya mereka, tapi tidak memberikan informasi yang seharusnya dibutuhkan bahkan sama sekali tidak ada informasi mengenai alur kejahatan-kejahatan perekrutan scamming," kata Wahyu.
Wahyu menambahkan, perlu ada peningkatan kerjasama antara negara di ASEAN terutama mengenai pencegahan TPPO. Pasalnya, korban dari TPPO di Kamboja saat ini tak hanya berasal dari WNI saja, namun adapula warga negara lainnya.
Baca Juga: 35 WNI Terjebak di Kawasan Perusahaan Judi Online di Bhavet, Ini Upaya Kemenlu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News