Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
Perseteruan antara Prem Ramchand Harjani, pemilik Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd dengan Merrill Lynch International Bank Limited (MLIB) dan PT Merrill Lynch Indonesia (MLINDO) tampaknya belum akan usai. Pasalnya MLIB dan MLINDO telah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan Merrill Lynch membayar ganti rugi sebesar Rp251 miliar kepada Prem. "PK tersebut sudah kami serahkan pada 16 Agustus 2012 kemarin," ujar Frans Winarta, kuasa hukum MLIB dan MLINDO.
Menurut Frans, dalam PK tersebut ada beberapa bukti baru yang ajukan. Salah satunya soal rekaman pembicaraan Prem saat bertransaksi dengan Merrill Lynch. Dalam rekaman pembicaraan tersebut, kata Frans, Prem berjanji akan membayar setelah transaksi pembelian saham PT Triwira Insanlestari Tbk (PTTI) sebanyak 120 juta lembar senilai USD 14,3 juta yang dilakukan oleh Merrill Lynch atas permintaan Prem. Bukti lain yang juga diajukan dalam PK tersebut yakni Email dan Call Memo.
Selain itu, hasil putusan dari Pengadilan Tinggi Singapura yang menyatakan bahwa Renaissance telah mengakui adanya utang dan Prem telah melakukan penipuan juga disertakan dalam PK tersebut. Seperti diketahui bahwa Pengadilan Tinggi Singapura telah memerintahkan Prem untuk membayar kerugian sebesar USD 9,5 juta ditambah bunga kepada Merrill Lynch.
Kasus ini bermula pada Juni 2008, dimana Prem dalam kapasitasnya sebagai pemilik dan direktur tunggal dari Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd, meminta Merrill Lynch, Pierce, Fenner & Smith (MLPFS) melalui Merrill Lynch International Bank Ltd (MLIB) di Singapura, untuk membeli 120 juta lembar saham PTTI senilai USD14,3 juta. Karena saham yang dibeli berada di Indonesia, maka eksekutor pembelian tersebut adalah Merrill Lynch Indonesia.
Berkaitan dengan dana tunai yang akan dipakai untuk membayar transaksi tersebut, Prem berjanji kepada MLPFS bahwa dana tunai sebesar USD 14,3 juta akan ditransfer pada tanggal penyelesaian transaksi yaitu 26 Juni 2008. Pada kenyataannya, baik Prem maupun Renaissance tidak pernah mentransfer dana yang disyaratkan pada tanggal penyelesaian transaksi.
Setelah Prem berulang kali berjanji dan kemudian ternyata gagal mengirim dana yang cukup untuk menutup transaksi tersebut, maka MLPFS menggunakan haknya yang tercantum di dalam kontrak untuk melikuidasi rekening Renaissance di MLPFS, termasuk melalui penjualan saham-saham PTTI.
Karena saham-saham PTTI dan aset-aset lain yang ada di rekening Renaissance sulit dijual (illiquid), MLPFS membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menjualnya. Pada saat MLPFS berhasil melikuidasi rekening Renaissance, MLPFS hanya mampu memperoleh USD 2,2 juta dari transaksi tersebut. Dengan demikian, Renaissance masih berutang sekitar USD 9,4 juta.
Nah, kasus antara Prem dengan Merrill Lynch ini kembali mengemuka setelah adanya pengumuman somasi dari tim kuasa hukum Prem pada akhir Juli 2012 kemarin yang dipublikasikan di beberapa surat kabar. Dalam somasi itu, Prem melalui kuasa hukumnya mensomasi MLIB dan MLINDO agar membayar ganti rugi senilai total Rp251 miliar yang sudah diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 dalam tujuh hari setelah somasi disampaikan. Putusan PN Jaksel itu juga dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2010 dan Putusan Mahkamah Agung pada 2011.
Dalam somasi tersebut, juga disebutkan bahwa jika permintaan tersebut tidak dikabulkan, Harjani akan meminta Bapepam-LK sebagai otoritas pasar modal mensuspensi perdagangan yang dilakukan Merrill Lynch Indonesia. Selain itu, Harjani juga berniat mengajukan pemblokiran akun-akun Merrill Lynch Indonesia dan Merrill Lynch International.
Nama Prem Ramchand Harjani di dunia usaha, khususnya yang berkaitan dengan pasar modal bukanlah nama baru. Sebelumnya di 2007, pria keturunan India berkebangsaan Indonesia itu juga memiliki masalah dengan PT Danareksa (Persero). Kasus antara antara Prem dengan Danareksa pada waktu itu juga hampir serupa dengan yang terjadi pada Merrill Lynch yakni soal transaksi jual beli saham.
Begitupun di 2003, Prem juga bermasalah dengan salah satu pengelola Dana Pensiun. Dimana perusahaannya yang bernama PT Ryane memiliki hutang senilai Rp 3,5 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News