Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Warga Rempang menolak rencana relokasi penduduk Pulau Rempang, Batam yang berjumlah kurang lebih 7.500 jiwa karena adanya proyek pembangunan Rempang Eco-City.
Merespons protes sebagian warga Rempang yang menolak pemindahan, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengingatkan agar penanganan di lapangan harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menggunakan kekerasan.
Bahlil menegaskan pentingnya untuk memenuhi hak-hak masyarakat Rempang terkait dengan pemindahan warga Pulau Rempang ke Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.
“Proses penanganan Rempang harus dilakukan dengan cara-cara yang soft, yang baik. Dan tetap kita memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun-temurun berada di sana. Kita harus berkomunikasi dengan baik, sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung. Jadi kita harus bicarakan,” ujar Bahlil dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (18/9).
Hal tersebut dikatakan Bahlil usai mengadakan Rapat Koordinasi Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan di Kawasan Pulau Rempang bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Dalam Negeri, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri).
Kemudian, Wakil Jaksa Agung, Gubernur Kepulauan Riau, Wali Kota Batam, dan pejabat daerah yang tergabung dalan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kepulauan Riau dan Kota Batam pada kemarin siang, Minggu (17/9).
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Janjikan Warga Rempang Dapat Sertifikat Hak Milik di Lokasi Relokasi
Koordinasi ini dilakukan menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah di Pulau Rempang.
Adapun pulau Rempang dengan luas mencapai 17.000 hektare akan direvitalisasi menjadi sebuah kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata yang terintegrasi. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Untuk tahap awal, kawasan ini sudah diminati perusahaan kaca terbesar di dunia asal Tiongkok, Xinyi Group yang berencana akan berinvestasi senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 174 triliun sampai dengan 2080.
“Total area itu kan 17.000 (hektare) tapi dari 17.000 hektare lebih itu kan ada sekitar 10.000 hektare itu kawasan hutan lindung yang nggak bisa kita apa-apain. Jadi areanya itu kurang lebih sekitar 7.000 (hektare) yang bisa dikelola. Untuk kawasan industrinya, tahap pertama itu kita kurang lebih sekitar 2.000-2.500 hektare,” ungkap Bahlil.
Terkait dengan penyiapan lahan pergeseran pemukiman warga, Bahlil menyatakan, pemerintah akan menyiapkan hunian baru untuk 700 KK yang terdampak pengembangan investasi di tahap pertama. Rumah tersebut akan dibangun dalam rentang waktu 6 bulan sampai 7 bulan.
Sementara menunggu waktu konstruksi, warga akan diberikan fasilitas berupa uang dan tempat tinggal sementara. Dia mengungkapkan, pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 500 meter persegi per Kepala Keluarga. Kemudian, rumah dengan tipe 45 yang nilainya kurang lebih sekitar Rp 120 juta.
Serta, uang tunggu transisi sampai dengan rumahnya jadi, per orang sebesar Rp 1,2 juta dan biaya sewa rumah Rp 1,2 juta. Termasuk juga dengan tanam tumbuh, keramba ikan, dan sampan di laut.
“Semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya. Jadi yakinlah bahwa kita pemerintah juga punya hati,” kata Bahlil.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto mengatakan akan langsung diberikan sertifikat hak milik (SHM) untuk tempat tinggal warga yang mengalami pergeseran dari 16 titik Kampung Tua Pulau Rempang.
“ATR/BPN ingin langsung menyerahkan sertifikat. Jadi ketika sudah ditentukan di 16 titik, kita ingin menyerahkan sertifikat, sambil melakukan proses pembangunan dan diawasi oleh pemilik. Kami juga sudah sampaikan bahwa sertifikat itu agar disamakan dengan sertifikat 37 kampung tua yang sudah diserahkan, itu adalah dengan status SHM yang tidak boleh dijual, harus dimiliki oleh masyarakat yang terdampak tersebut,” kata Hadi.
Di luar pemenuhan hak masyarakat yang harus terus dikedepankan, Bahlil juga menyebut bahwa rencana investasi di Rempang harus tetap berjalan demi kepentingan rakyat. Menurutnya, investasi tersebut diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
“Investasi itu bukan seperti menanam buah dari sebuah pohon. Kita ini berkompetisi. FDI (Foreign Direct Investment/Penanaman Modal Asing) global terbesar itu sekarang ada di negara tetangga, bukan di negara kita. Ini kita ingin merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau kita tunggunya terlalu lama, emang dia mau tunggu kita. Kita butuh mereka tapi juga kita harus hargai yang di dalam,” tegas Bahlil.
Bahlil juga menyampaikan bahwa akan banyak kerugian yang akan dirasakan, baik dari segi pendapatan pemerintah maupun perekonomian masyarakat jika potensi investasi tersebut tidak berhasil direalisasikan.
“Ini investasinya total Rp 300 triliun lebih, tahap pertama itu Rp 175 triliun. Kalau ini lepas, itu berarti potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini itu akan hilang,” imbuh Bahlil.
Baca Juga: Kunjungi Rempang, Menteri BKPM Bahas Percepatan Investasi Eco-City Rempang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News