kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.202   22,00   0,14%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Mengukur ULN swasta yang membengkak


Senin, 17 Juli 2017 / 22:41 WIB
Mengukur ULN swasta yang membengkak


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Mei 2017 sebesar US$ 333,6 miliar atau tumbuh sekitar 5,5% dari periode yang sama pada tahun 2016. Berdasarkan kelompok peminjam, posisi ULN sektor swasta meningkat dari US$ 161,6 miliar pada April 2017 menjadi US$ 165,2 miliar pada Mei 2017.

Peningkatan ULN swasta pada akhir Mei 2017 tersebut terkonsentrasi di beberapa sektor, yaitu sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, dan listrik, gas & air bersih. Kontribusi ULN keempat sektor tersebut mencapai 76,7% terhadap total ULN swasta.

Bila dibandingkan dengan April 2017, pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas & air bersih mengalami peningkatan. Di sisi lain, ULN sektor keuangan dan sektor pertambangan masih mengalami kontraksi pertumbuhan.

Sementara posisi ULN sektor pemerintah dan Bank Sentral pada Mei 2017, tercatat US$ 168,4 miliar (50,5% dari total ULN) atau tumbuh 11,8% (yoy), lebih tinggi dari 9,2% (yoy) pada bulan sebelumnya. Pada April 2017, ULN sektor ini hanya sebesar US$ 167,87.

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih mengungkapkan, peningkatan ULN swasta, khususnya di sektor keuangan dipicu oleh ketatnya likuiditas di dalam negeri. Ketatnya likuiditas tersebut membuat sebagian besar perusahaan melakukan aksi korporasi dengan menerbitkan obligasi.

“Sektor keuangan sedang banyak mencari pendanaan, karena likuiditas di dalam negeri cukup ketat, ada keterbatasan pendanaan dari dalam negeri. Di sisi lain tabungan atau simpanan yang dihimpun juga tidak naik terlalu banyak. Sedangkan kebutuhan tinggi, itulah yang membuat harus pinjam dari luar negeri,” jelasnya pada KONTAN, Senin (17/7).

Lana mengkhawatirkan, membengkaknya ULN di sektor swasta digunakan untuk refinancing atau restrukturisasi dari utang sebelumnya. Restrukturisasi adalah utang baru yang diterbitkan untuk membayar utang yang lama.

“Kalau utang tersebut untuk modal kerja atau investasi, masih cukup aman. Jika refinancing atau restrukturisasi makin besar, itu yang agak bahaya. Karena misalnya saya utang, saya bayar utang lama menggunakan utang baru dengan jumlah yang lebih besar,” tutur Lana.

Hasil survei BI per Mei 2017 menyatakan, ULN pada sektor swasta banyak meningkat untuk kegiatan refinancing dan kegiatan lainnya. Refinancing pada April 2017 sebesar US$ 19,38 miliar menjadi US$ 19,96 miliar pada Mei 2017. Sedangkan untuk kegiatan lain-lain membengkak dari US$19,57 pada April 2017 miliar menjadi US$ 21,59 miliar.

Lana berpendapat kondisi ULN yang terus meningkat hanya akan memperpanjang supaya tidak terjadi default. “Misal saya utang, tapi tidak bisa bayar nih karena harga komoditas lagi rendah dan segala macam, tapi bagaimana lagi, pihak pengutang butuh memutar modal. Maka si pemberi utang akan menawarkan utang baru,” jelasnya.

Ia bilang, utang untuk kegiatan restrukturisasi lazim dan wajar terjadi. Akan tetapi, jika restrukturisasi itu cukup besar, harus memperhatikan pula kemampuan membayar dari perusahaan tersebut, ada atau tidak.

“Kalau restrukturisasinya karena harga pasar atau pihak eksternal, mungkin bisa berharap akan pulih. Tapi kalau efeknya di mana orang tersebut tidak bisa bayar, tentu harus dicermati apakah mengandung efek sistemik buat perekonomian. Efek sistemik inilah yang membahayakan,” ungkap Lana.

Belum lagi soal rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu sisa terhadap cadangan devisa pada kuartal I-2017 telah mencapai 45,66 %. Menurut Lana, kondisi tersebut sudah sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, kondisi aman di kisaran 33% - 35% terhadap cadangan devisa.

“Ekspor kita tidak bisa dikontrol karena harganya bergantung pada internasional. Memang kita harus memupuk cadangan devisa dalam jumlah besar. Karena cadangan devisa itulah yang untuk membayar,” ujarnya.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah memastikan semua utang swasta itu dalam kondisi hedging. Maksudnya, ada jaminan atau asuransi pelindung nilai. Karena tidak ada yang bisa memastikan, kapan Rupiah akan melemah atau sebaliknya.

“Asuransi yang menjamin si perusahaan itu membayar dengan kurs yang sudah disepakati dengan bank. Jadi tidak terpengaruh oleh nilai tukar. Minimal itu bisa menjamin dan tidak menyebabkan pembengkakan karena kurs,” kata Lana.

Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual justru menanggapi naiknya ULN swasta sebagai sinyal yang baik bagi perekonomian. Tren dua tahun belakangan menunjukkan utang swasta terus turun.

“Setelah berakhirnya commodity boom era 2009-2014, utang menurun. Dulunya, kebanyakan ULN dipicu oleh perusahaan di sektor komoditas yang mau ekspansi usahanya. Sampai 2014 ketika harga komoditas melemah akhirnya utang menurun. Baru mulai pulih sekitar pertengahan tahun lalu saat harga komoditas juga mulai pulih,” terangnya.

David menjelaskan, kondisi ini juga terpengaruh oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang banyak bermitra dengan swasta. Di sisi lain, bank untuk menjaga likuiditasnya, sehingga banyak mengeluarkan obligasi atau aksi korporasi untuk mengantisipasi pencairan kredit, terutama di sektor infrastruktur.

“Saya pikir malah sinyal bagus, karena sebelumnya tren turun, untungnya waktu itu diimbangi utang pemerintah yang cukup tinggi. Jadi kalau secara pertumbuhan sebelumnya melemah,” ujar David.

Ia juga menduga, saat ini ada tren untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga. “Jadi istilahnya mereka mau mengunci suku bunga di level rendah. Siapa tau nanti setahun dua tahun ke depan kalau The Fed terus menaikkan suku bunga, akan ada kecenderungan suku bunga global juga naik,” tuturnya pada KONTAN.

Ia berpendapat, selama peningkatan ULN saat ini diimbangi dengan naiknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri, hal tersebut tidak menjadi masalah.

“Yang mengkhawatirkan justru jika perusahaan melakukan restrukturisasi, kepercayaan sedang rendah. Maka itu, sangat penting menjaga confidence pasar. Yang jadi bahaya jika bank luar negeri sudah tidak mau meminjamkan lagi,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×