Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan aturan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN) korporasi non bank. Hanya saja sanksi yang diberikan BI hanya bersifat teguran.
Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat, seharusnya ada sanksi tegas yang memberi efek jera bagi perusahaan yang tidak mengikuti aturan. Kalau sanksi yang diberikan hanya teguran, korporasi sulit untuk mengikuti aturan.
BI dalam hal ini bisa bekerja sama dengan otoritas lintas sektoral seperti OJK dan Kemkeu untuk membuat semacam sanksi efek jera. "Dan pada akhirnya itu bisa dipatuhi oleh semua stakeholder yang ada," ujar Juniman di Jakarta, Kamis (30/10).
Kalau hanya bersifat teguran, aturan yang dikeluarkan BI ini tidak jauh berbeda dengan kewajiban wajib lapor yang telah dilakukan oleh BI. Di sisi lain, Juniman akui tiga poin aturan BI untuk kendalikan ULN korporasi sudah baik. Minimal sudah ada rambu-rambu yang jelas bagi swasta dalam berutang.
Utang yang dilakukan swasta sebenarnya tidak menjadi masalah asal digunakan untuk hal produktif. "Yang ditakutkan adalah perusahaan itu sakit tapi tetap berutang," tandasnya.
Sebagai informasi, BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank. Aturan ini memuat tiga pokok besar yang mulai berlaku 1 Januari tahun depan.
Pertama, rasio lindung nilai. Rasio ini diterapkan dari selisih antara aset valas dengan kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam waktu tiga bulan ke depan hingga enam bulan.
Sebagai tahap awal untuk periode 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015, korporasi non bank yang memiliki ULN dalam bentuk valuta asing (valas) terhadap rupiah wajib melakukan hedging dengan rasio sebesar 20%. Kemudian pada 1 Januari 2016 rasio hedging dinaikkan menjadi 25%.
Kedua, rasio likuiditas. Korporasi non bank wajib menyiapkan aset valas tiga bulan sebelum jatuh tempo. Rasio aset valasnya minimal 50% dari kewajiban valas yang akan jatuh tempo. Rasio ini akan naik menjadi 70% sejak 1 Januari 2016.
Ketiga, peringkat utang. Korporasi yang melakukan ULN wajib memiliki peringkat utang paling kurang setara BB yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Juda Agung mengatakan terdapat enam lembaga rating baik internasional ataupun domestik yang diakui yaitu Moody's Investor Service, S&P, Fitch Ratings, Pefindo, Fitch Rating Indonesia, dan Investment&Credit Rating Agency (ICRA) Indonesia.
Bagi korporasi yang tidak mendapatkan peringkat rating minimal BB dari enam peringkat tersebut tidak bisa melakukan pinjaman luar negeri. "Seperti dapat Surat Ijin Mengemudi (SIM). Mau setir mobil harus punya SIM dulu," ujar Juda, Kamis (30/10).
Kalau ternyata si pemberi pinjaman tetap saja memberikan utang maka BI akan menyurati kreditur utang. Ketentuan peringkat utang ini akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2016 dan tidak berlaku bagi ULN valas terkait pembiayaan proyek infrastruktur.
Kepada korporasi non bank yang melanggar tiga ketentuan BI tersebut akan mendapatkan surat teguran yang juga ditembuskan kepada kreditur bersangkutan di luar negeri, Menteri Badan usaha Milik Negara (BUMN) bagi korporasi pelat merah, Bursa Efek Indonesia (BEI) bagi korporasi non bank yang tercatat di BEI, Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak), dan Otoritas Jasa Keuangan
Sanksi ini memang hanya sebatas teguran. Namun, menurut Juda, dengan mengirimkan surat teguran yang disampaikan kepada kreditur bahwa si korporasi sebaiknya tidak diberikan utang karena tidak memenuhi aturan akan efektif. Pada akhirnya, diberikan atau tidak diberikannya utang tetap berada di tangan kreditur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News