Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan sektor keuangan tak semakin mudah di tahun ini. Di tengah kondisi ekonomi dan perdagangan global yang tak kondusif, Indonesia juga menghadapi potensi keluarnya dana valuta asing (valas) dalam jumlah jumbo sepanjang tahun 2019.
Seperti yang diketahui, tahun ini menjadi akhir dari masa tahan (holding period) dana repatriasi program pengampunan pajak atau tax amnesty. Dana yang sebagian besar terparkir di berbagai bank mitra dalam negeri tersebut diperkirakan mencapai Rp 138 triliun.
Tak hanya itu, tahun ini perusahaan pelat merah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) akan mulai membayar kupon obligasi globalnya pada tahun ini.
Berdasarkan catatan Kontan.co.id, Inalum melakukan pembayaran sebanyak dua kali setahun dengan besaran masing US$ 300 juta, dimulai pada Mei 2019 hingga 2021 mendatang.
Selain itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mencatat, jumlah utang luar negeri (ULN) pemerintah dan swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jatuh tempo pada tahun ini mencapai sekitar US$ 60 miliar.
Sementara utang pemerintah pusat dalam denominasi rupiah yang jatuh tempo tahun ini berkisar Rp 475 triliun.
"Risiko likuiditas valas tahun ini memang tetap ada. Itu sebabnya suplai dollar harus terus didorong dan kebutuhan dollar untuk kepentingan yang kurang produktif harus makin dikurangi," ujar Josua, Kamis (9/5).
Kendati begitu, Josua memandang, saat ini suplai valas di dalam negeri masih mengandalkan arus modal asing pada instrumen portofolio. Secara year-to-date (ytd), Josua memperkirakan net inflow asing pada pasar saham dan obligasi berkisar US$ 9 miliar.
Itu sebabnya, pemerintah dan Bank Indonesia mengeluarkan bauran kebijakan yang mendukung dan menjaga arus masuk modal tersebut.
"Misalnya, BI melonggarkan ketentuan kewajiban underlying Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), itu salah satu cara untuk mencegah valas keluar dari Indonesia akibat hedging offshore. BI juga masih akan terus mempertahankan suku bunga kebijakannya," kata Josua.
Sementara, pemerintah juga baru saja menurunkan batas minimal penawaran pembelian Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana domestik dengan cara private placement dengan jenis valas, yaitu dari awalnya US$ 50 juta, kini menjadi hanya US$ 25 juta dengan nilai minimal nominal untuk satu seri sebesar US$ 1 juta atau ekuivalen dengan mata uang asing lain dan berlaku kelipatannya.
Menurut Josua, kebijakan ini merupakan salah satu strategi pemerintah menarik minat pemilik dana repatriasi tax amnesty untuk tetap menempatkan dananya di dalam instrumen milik pemerintah Indonesia.