kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.940.000   35.000   1,84%
  • USD/IDR 16.295   40,00   0,25%
  • IDX 7.045   -20,25   -0,29%
  • KOMPAS100 1.022   -2,15   -0,21%
  • LQ45 795   -1,03   -0,13%
  • ISSI 224   -0,62   -0,28%
  • IDX30 416   -0,26   -0,06%
  • IDXHIDIV20 491   -2,15   -0,44%
  • IDX80 115   -0,14   -0,12%
  • IDXV30 118   -0,37   -0,31%
  • IDXQ30 136   -0,37   -0,27%

Menghitung manfaat Freeport untuk Indonesia


Kamis, 21 Januari 2016 / 07:15 WIB
Menghitung manfaat Freeport untuk Indonesia


Reporter: Andri Indradie, Herry Prasetyo, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Tahun ini merupakan tahun yang berat bagi bisnis Freeport-McMoran Inc (FMI). Harga tembaga, minyak dan gas (migas) yang turun, serta utang membubung bikin perusahaan berkode FCX di bursa saham New York ini mengencangkan ikat pinggang.

Di samping harus merevisi perjanjian kredit akibat rencana ekspansi jor-joran di produksi migas FMI, yang juga induk perusahaan PT Freeport Indonesia alias PTFI, berencana memangkas belanja modal di bisnis tambang (nonmigas) sepanjang tahun ini, dari US$ 2,7 miliar menjadi US$ 2 miliar.

FMI mengurangi capital expenditur (capex) pengoperasian tambang di Amerika Utara dan Amerika Selatan yang setiap tahun rata-rata memproduksi 113.398 ton tembaga dan 9.071 ton molibdenum.

Bahkan, FMI berencana menutup total tambang Sierrita di Arizona. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun terpaksa jadi cara efisiensi FMI di tambang Grant County yang mempekerjakan sekitar 1.600 karyawan tambang.

Adapun dalam bisnis migas, FMI sudah menetapkan capex tahun ini dan 2017, masing-masing sebesar US$ 1,8 miliar dan US$ 1,2 miliar. Padahal, biasanya, FMI mematok capex sekitar US$ 2 miliar per tahun.

Tahun ini, FMI menargetkan, delapan sumur baru yang dioperasikan Freeport-McMoran Oil & Gas di Holstein Deep, Horn Mountain, serta King Projects di laut dalam Teluk Meksiko bisa “on”. Proyek-proyek tersebut diperkirakan akan mampu menurunkan total biaya produksi minyak dari US$ 19 per barel setara minyak tahun lalu, menjadi US$ 16 barel setara minyak di tahun ini, dan 2017 nanti.


Freeport di Indonesia
Rencana-rencana bisnis tersebut mengemuka setelah buku keuangan FMI sempat “terbakar” sepanjang tahun lalu. FMI punya kewajiban meyakinkan pemegang sahamnya bahwa kinerja tahun ini bisa lebih baik.

Sekadar mengingatkan, Oktober 2015, berdasarkan laporan keuangan terbarunya, FMI mencatat rugi US$ 3,8 miliar hingga kuartal III. Rapor merah ini pun akhirnya memicu aksi jual saham dan menekan harga saham FCX. Maklum saja, beberapa bulan setelah pengumuman kinerja yang buruk, investor sempat dikagetkan oleh pembatalan pembagian dividen sebesar US$ 0,2 per saham.

Memang, penangguhan dividen yang diumumkan bulan Desember itu bisa menggembungkan kantong FMI karena bertambah US$ 240 juta dan memperkuat likuiditas perusahaan menghadapi pasar. Namun, rencana itu tak cukup menghadang aksi jual para investor.

Desember 2015, barangkali menjadi rekor penurunan saham FCX. Dalam sebulan yang suram akhir 2015 itu, saham FCX turun 18,73% dari US$ 8,33 per saham menjadi US$ 6,77 per saham.

Sepanjang 2015 lalu, harga saham FCX ambles 70,92%, dibuka US$ 23,28 per saham pada 2 Januari 2015 dan ditutup di harga US$ 6,77 per saham pada 31 Desember 2015.

Keadaan FMI makin tak terkendali saat sang bos sekaligus pendiri James R. Moffet melepas jabatannya sebagai CEO. Minggu lalu, Kamis (14/1), harga FCX bertengger di kisaran US$ 4,04 per saham.

Nah, kebetulan atau enggak, harga saham FCX perlahan-lahan menanjak tinggi bersamaan dengan berita penawaran saham PTFI ke Pemerintah Indonesia, Kamis (14/1). Harga saham FCX bergerak hijau di angka terakhir US$ 4,15 per saham dan masih terus mendaki.

Yang jelas, menurut Fahmy Radhi, peneliti Universitas Gadjah Mada, bisnis FCX di Indonesia meninggalkan rekam jejak kurang begitu baik tiga tahun terakhir. PTFI menjual sekitar 891 ribu ons emas dan 549 juta pon tembaga (lihat tabel).

Dari data tersebut, dengan asumsi rata-rata harga emas 2015 sebesar US$ 1.149 per ons dan harga Tembaga US$ 2,45 per pon, PTFI mengantongi sekitar US$ 2,36 miliar dari penjualan dua komoditas itu. Mirisnya, ternyata pendapatan yang diperoleh Indonesia dari sana, cuma US$ 539 juta saja.

Pendapatan tersebut berasal dari royalti dan pajak. “Sementara dividen enggak pernah dibayarkan selama tiga tahun terakhir ini,” kata Fahmy.

Melihat kinerja PTFI dan kontribusinya untuk Indonesia, Fahmy berpendapat, harga divestasi 10,64% senilai US$ 1,72 miliar atau sekitar Rp 23,91 triliun dengan hitungan kurs Rp 13.900 per saham, terlalu mahal. Belum lagi jika memperhitungkan ongkos dampak kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi rakyat Papua.

Marwan Batubara, Direktur Indonesia Resources Studies, menambahkan, harga saham FCX yang terperosok hingga ke harga US$ 4,31 per saham, merupakan salah satu tanda kebangkrutan perusahaan tersebut. “Terutama, di tengah kondisi harga komoditas tambang dan migas yang terus terpuruk saat ini,” ujarnya.

Marwan melanjutkan bahwa kondisi sekarang sepertinya sudah merupakan titik paling rendah kinerja FCX. Maklumlah, pada era 2010–2011 harga FCX sempat menyentuh US$ 60 per saham.


Mekanisme yang pas
Fahmy bilang, untuk mendulang manfaat yang besar dari PTFI, sebaiknya pemerintah perlahan-lahan menambah kepemilikan mereka sehingga menjadi pemegang mayoritas. Hanya saja, pembelian melalui mekanisme divestasi memakan biaya sangat besar untuk mencapai kepemilikan mayoritas.

Selain itu, pengambilalihan mayoritas saham FCX berarti juga mengambil alih utang Freeport. Padahal, sekarang utang Freeport sudah lebih besar dibanding modal sendiri. Persentase debt to total ratio mereka adalah -189,09%.

Karena itulah, Fahmy mengusulkan pemerintah melihat dua alternatif lain sehingga bisa menjadi pemilik mayoritas. Pertama, melakukan nasionalisasi. Kedua, pengambilalihan dilakukan saat kontrak berakhir pada tahun 2021.

Pilihan nasionalisasi akan berat, lantaran di samping harus menghadapi Arbitrase Internasional, Pemerintah Indonesia juga bisa dikucilkan negara lainnya. Nah, alternatif yang paling mungkin adalah pengambilalihan saham pada saat KK berakhir tahun 2021 nanti.

Negara bisa melakukan langkah tersebut melalui Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Salah satu pasal UU menyebut tidak ada perpanjangan bagi perusahaan tambang mineral dan batu bara yang sudah beroperasi selama lebih 50 tahun. Maka, dua tahun sebelum KK PTFI berakhir pada 2019, siapa pun presidennya harus memutuskan secara resmi pengambilalihan PTFI. “Selanjutnya, bisa saja pengelolaan Freeport diserahkan sepenuhnya kepada Badan Usaha Milik Negara di mana 100% sahamnya dikuasai oleh negara,” tegas Fahmy.

Kita tunggu.                        


Laporan Utama
Minggguan Kontan No. 17-XX, 2016

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×