Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Masih buntu! Begitulah gambaran upaya Direktorat Jenderal Pajak memajaki Google atas penghasilan yang didapat di Indonesia. Negosiasi yang dilakukan berkali-kali belum membuahkan hasil. Google masih menolak membayar pajak penghasilan yang ditaksir sebesar Rp 5 triliun.
Tak mudah bagi aparat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengunduh pajak penghasilan atau PPh dari Google Indonesia. Hingga saat ini, Google masih menolak permintaan itu. Bahkan, upaya Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiastedi mengajak ketemu petinggi Google Asia Pacific, Kamis (19/2) pekan lalu juga masih bertepuk sebelah tangan.
Dengan alasan sang pejabat masih di Australia, Google mengutus perwakilannya yang membawa sebundel data. Harapannya: data-data yang itu sesuai ekspektasi Pajak yakni data transaksinya di Indonesia.
Data itu akan dipakai sebagai pembanding besaran transaksi Google di Indonesia. Data ini penting mengingat data pemerintah tak cukup kuat jadi dasar minta pembayaran pajak Google.
Beberapa kali wawancara KONTAN dengan aparat pajak menyebut data mereka adalah data kasar atas omzet Google di Indonesia. Indonesia bukan satu-satunya negara yang sulit memajaki Google. Kesulitan sama yang sama dialami Prancis, Spanyol, Italia.
Menjadikan Google sebagai bentuk usaha tetap alias BUT acap menjadi dasar untuk memungut pajak penghasilan Google. Hanya, upaya ini bisa memantik kontroversi.
Wayan Agung Eka, Alumni Program Master of Public dari National Intitute Policy, ke KONTAN menyebut, menjadikan Google sebagai BUT, artinya otoritas pajak harus melakukan uji eksitensi perusahaan ini sesuai pasal 5 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atau P3B Indonesia-Singapura, meski Undang-Undang PPh menyebutkan eksistensi badan usaha tetap dalam beragam definisi.
Selama ini, Singapura jadi negara residen Google Asia Pasific Pte,Ltd. Dari sanalah, pendapatan Google Indonesia mengalir. Meski Google Indonesia tercatat sebagai anak usaha Google Singapura tak secara otomatis menimbulkan BUT di Indonesia.
Google Indonesia bisa saja hanya menjadi agen pemasar, tak melakukan eksekusi transaksi. Dengan begitu, Google Indonesia hanya menerima fee. Jika ini yang terjadi, PPh Google Indonesia hanya bisa dihitung dari fee yang diperoleh. Kecuali, jika Pemerintah Indonesia mampu membuktikan Google Indonesia memiliki hak dan wewenang menyetujui kontrak dengan pihak lain.
Dengan kata lain, Google Indonesia jadi dependent agent yang memenuhi kriteria sebagai fixed place of business Google Pasific.
Pengamat Pajak Darussalam bilang, Indonesia harus segera mengeluarkan aturan atas perusahaan over the top, seperti Google dan media sosial lain. Memang tak mudah, Tapi, pemerintah Indonesia harus melihat masa depan, memangkas masa lalu, ujar Darussalam ke KONTAN.
Negosiasi tetap diperlukan namun memberi kepastian hukum. Artinya, Pemerintah Indonesia tak bisa bersikeras dengan keinginannya mengenakan pajak plus denda bunga hingga 400% atau total kopral sesuai hitungan pajak Rp 5 triliun.
Adanya 140 unit dedicated catch server di Indonesia masih membutuhkan investigasi mendalam dan konfirmasi hingga membuktikan Google Indonesia jadi dependent agent.
Indonesia bisa belajar dari otoritas perpajakan Inggris, Australia atau India. Inggris memilih menerbitkan diverted profit tax atau DPT. Pun dengan Australia. India mengeluarkan equalization levy sebesar 6% .
Pajak-pajak OTT itu belakangan lebih sohor dengan sebutan Google Tax. Intinya, pemerintah negara-negara tersebut mengeluarkan aturan baru untuk menghadapi keagresifan tax planning dari perusahaan multinasional gede yang mencari celah pajak di negara sumber pendapatan perusahan tersebut.
Walhasil, Mendesak bagi pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan skema tax planning yang dilakukan wajib pajak (mandatory disclosure rule). Toh, ini juga sudah didorong oleh aksi BEPS OECD (base erosion and profit shifting) no 12, tandas Darussalam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News