Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa mengadukan hakim pemutus perkara mantan Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto ke Komisi Yudisial (17/7). Kedatangan Mastel juga didampingi oleh komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono, pemerhati telematika ITB Suhono, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJIII) Sammy Pangerapan serta Indar Atmanto.
Mastel menilai hakim yang terdiri dari Ketua Majelis Antonius Widijantono, dua hakim karir Anas Mustaqiem dan Aviantara, serta dua hakim ad hoc Anwar dan Slamet tidak profesional, tidak arif, dan tidak bijaksana dalam memutus perkara Indar Atmanto. Hal ini lantaran hakim hanya mengambil keterangan para saksi ahli yang memberatkan Indar.
Ia menambahkan, Majelis Hakim juga telah semena-mena melawan hukum dengan tidak mempertimbangka pendapat resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sebagai regulator. Padahal, Menkominfo telah dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada yang dilanggar dalam perjanjian kerjasama antara Indosat dan IM2.
“Vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor terhadap Indar Atmanto dapat merusak iklim investasi industri telekomunikasi di Indonesia. Para investor pasti akan ragu dalam berinvestasi, sekarang mitranya Indosat saja sudah ragu," ujar Setyanto.
Sammy Pangerapan menyatakan vonis Indar Atmanto akan berdampak sangat besar pada industri penyedia jasa internet. "Bila IM2 dinyatakan bersalah, maka ada lebih dari 200 penyedia jasa internet (Internet Service Provider/ISP) yang menerapkan model bisnis yang sama juga harus dinyatakan bersalah dan membayar bea hak penggunaan (BHP) frekuensi sejumlah yang dituduhkan kepada IM2 sebesar Rp 1,3 triliun," jelasnya. Padahal ratusan ISP beroperasi dengan skala yang kecil.
Kasus IM2 juga akan berdampak pada setiap pengguna seluler yang juga menggunakan frekuensi radio. "Bila menggunakan terminologi tuduhan jaksa bahwa tiap penggunaan frekuensi radio yang tidak mengikuti tender pemerintah tapi tetap menggunakannya, maka setiap pengguna handphone seluler untuk telepon, SMS, dan broadcast message yang memakai frekuensi radio, juga dianggap koruptor dan harus membayar Rp 1,3 triliun," lanjut dia.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda 200 juta terhadap Indar Atmanto. Indar didakwa bersalah karena telah menandatangi perjanjian kerja sama (PKS) antara PT indosat dengan IM2 untuk memanfaatkan frekuensi bersama 2.1 GHz atau 3G. Adanya kerjasama ini menyebabkan negara merugi hingga 1,3 triliun. Majelis hakim menyatakan IM2 seharusnya membayar upfront free atau biaya nilai awal dan biaya hak penggunaan (BHP) kepada negara. Untuk itu, ganti rugi senilai Rp 1,3 triliun tersebut dibebankan kepada IM2.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News