CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.386.000   -14.000   -1,00%
  • USD/IDR 16.295
  • IDX 7.288   47,89   0,66%
  • KOMPAS100 1.141   4,85   0,43%
  • LQ45 920   4,23   0,46%
  • ISSI 218   1,27   0,58%
  • IDX30 460   1,81   0,40%
  • IDXHIDIV20 553   3,30   0,60%
  • IDX80 128   0,57   0,44%
  • IDXV30 130   1,52   1,18%
  • IDXQ30 155   0,78   0,50%

Mandatory Spending Dalam UU Kesehatan Dihapus, Ini Penjelasan Menkes Budi Gunadi


Selasa, 11 Juli 2023 / 18:52 WIB
Mandatory Spending Dalam UU Kesehatan Dihapus, Ini Penjelasan Menkes Budi Gunadi
ILUSTRASI. Ketua DPR Puan Maharani menerima dokumen pandangan pemerintah dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, besarnya belanja atau spending dalam kesehatan tidak menentukan kualitas dari outcome yang dihasilkan yakni derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Hal tersebut menjadi alasan penghapusan mandatory spending dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR hari ini.

"Besarnya spending, tidak menentukan kualitas dari outcome. Tidak ada data yang membuktikan bahwa spendingnya makin besar maka derajat kesehatan makin baik," kata Budi di Komplek DPR RI, Jakarta, Selasa (11/7).

Baca Juga: Ini Alasan Fraksi PKS Tolak Pengesahan RUU Kesehatan Jadi Undang-Undang

Misalnya saja di Amerika Serikat yang memiliki mandatory spending kesehatan hingga US$ 12.000 dengan di Kuba dengan US$ 1.900. Keduanya kata Budi berbeda dalam mandatory spending namun memiliki kesamaan dalam rata-rata usia hidup warganya.

Kemudian contoh lainnya adalah Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang bahkan tidak menetapkan mandatory spending yang besar namun memiliki rata-rata usia hidup yang lebih tinggi. 

Ia menyampaikan, Jepang rata-rata usianya 84 tahun, dengan spending-nya US$ 4.800. Korea Selatan rata-rata usianya 84 tahun dan spending-nya US$ 3.600. Kemudian Singapore 84 tahun dan spending-nya cuma US$ 26.00.

"Jadi di seluruh dunia orang sudah melihat harus fokusnya bukan ke spending, fokusnya ke outcome. Fokusnya bukan ke input, fokusnya ke output," tegasnya.

Adapun fokus kepada program dilakukan sebagai bentuk efisiensi anggaran. Pasalnya, Budi mengungkap, banyak menerima laporan kejadian penggunaan anggaran kesehatan yang tak tepat sasaran.

Baca Juga: Dinilai Tidak Transparan, CISDI Kecam Pengesahan RUU Kesehatan

Penghapusan mandatory spending juga ditujukan agar nantinya diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.

"Bapak Presiden juga sempat beberapa kali bilang, uangnya dipakai buat apa dan saya mengalami sebagai Menteri banyak juga uang-uang yang dipakai kemudian kita tidak jelas juga outcome. Oleh karena itu pendekatannya kita setuju dengan DPR pendekatannya adalah pendekatan program bukan pendekatan uang," ujarnya.

Kembali Ia menegaskan, anggaran belanja kesehatan ke depan akan menggunakan pendekatan output atau result. Oleh karenanya akan disusun rencana induk bidang kesehatan (RIBK).

"Nantinya, disetujui antara pemerintah dan DPR, ini menyetujui outputnya programnya yang ada di rencana induk ini. Nantinya akan disupport secara finansial secara kapasitas yang ada agar bisa mencapai output yang kita tuju. Jadi mekanisme adalah dengan penyusunan rencana induk bidang kesehatan," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×