Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca Perdagangan Indonesia masih mencatat defisit hingga Juli. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, defisit neraca dagang di Juli sebesar US$ 63,5 juta. Dengan begitu, total defisit neraca dagang dari Januari sampai Juli sebesar US$ 1,89 miliar.
Head of Research LPEM UI Febrio N. Kacaribu memperkirakan, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sepanjang 2019 akan kurang dari 3%. "Defisit Juli masih kecil, akhir tahun target di bawah 3% dari PDB akan tercapai. (CAD) masih diperkirakan 2,7% sampai 2,8% dari PDB, tidak sampai 3%," tutur Febrio, Kamis (15/8).
Baca Juga: Neraca dagang Juli di luar ekspektasi, begini respons ekonom
Meski CAD sepanjang tahun ini masih sesuai dengan target, Febrio justru mengkhawatirkan kinerja ekspor yang justru melambat. Pasalnya, harga berbagai komoditas seperti minyak sawit dan batubara tak menunjukkan perbaikan. Menurut dia, dibutuhkan jangka waktu yang lama hingga harga komoditas membaik.
Berdasarkan catatan BPS, ekspor Indonesia pada Juli mencapai US$ 15,45 miliar atau meningkat sebesar 31,02% secara month on month (mom), tapi turun 5,12% dibandingkan Juli 2018 atau year on year (yoy).
Baca Juga: Kebijakan Fiskal Jadi Andalan untuk Menahan Defisit Transaksi Berjalan
Menurut Febrio, adanya penurunan ekspor ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. LPEM UI pun mengubah proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi melihat kinerja ekspor yang menurun.
"Yang masuk ke perhitungan PDB itu adalah ekspor, impor tidak mempengaruhi PDB. Jadi kalau ekspornya melemah, itu ngaruhnya ke pertumbuhan PDB. Kami revisi pertumbuhannya, tadi kami duga 5,2%-5,3%, kami revisi menjadi 5,1%-5,2%, itu karena melemahnya ekspor di tahun ini dibandingkan tahun lalu," jelasnya.
Baca Juga: Ekonom: Kebijakan fiskal bersifat insentif lebih efektif menekan laju impor
Sementara, di sisi impor, pada Juli 2019 impor mencapai US$ 15,51 miliar atau naik 34,96% dibandingkan Juni 2019 (mom), tetapi turun 15,21% dibandingkan tahun lalu (yoy).
Febrio mengatakan adanya penurunan impor belum tentu hal yang baik. Apalagi, menurutnya impor Indonesia masih didominasi barang-barang yang dibutuhkan untuk keperluan produksi. "Kalau impor kita turun tajam, artinya kita memproduksi lebih sedikit. Itu yang membuat kami revisi angkanya bukan di 5,2% - 5,3% tetapi jadi 5,1% -5,2%," tambah Febrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News