Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga kebijakan di 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang akan berakhir Kamis, 22 Agustus 2019.
Hal ini menimbang keadaan Indonesia seperti, tingkat inflasi yang masih terkendali, lalu perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global, dan aliran modal yang masih meningkat.
Pertama, tingkat inflasi pada bulan Juli 2019 stabil di tingkat 3,32% (yoy) dan masih ada dalam kisaran target BI, walau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,28% (yoy). Kenaikan inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga pakaian dan pendidikan karena tahun ajaran baru dimulai pada bulan tersebut.
Baca Juga: Pinjaman Citigroup batal, Manejemen Indofood: Tidak jadi masalah
Secara keseluruhan, inflasi dinilai masih rendah dan stabil. Sehingga menyebabkan BI masih belum perlu menurunkan suku bunga acuan. Namun, pemerintah tetap harus secara konsisten menjaga stabilitas harga karena saat ini sudah memasuki musim kemarau dan meningkatnya ketidakpastian global.
Kedua, perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q2-2019 turun menjadi 5,05% (yoy). Sementara pada kuartal sebelumnya ada di angka 5,07% (yoy). Hal ini disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor dan investasi.
Total ekspor barang dan jasa turun sebesar 2% (yoy) pada Q2-2019 karena tren penurunan harga komoditas akibat ketidakpastian perdagangan global. Ketidakpastian ini juga menyebabkan pertumbuhan investasi melambat menjadi 5,01% (yoy) dari 5,85% (yoy) dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Baca Juga: Fintech dapat menjadi Lembaga linkage dalam penyaluran KUR
Konsumsi rumah tangga juga meningkat dan menahan laju pertumbuhan ekonomi. Sementara pengeluaran pemerintah mampu menjadi penyokong laju pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, LPEM melihat bahwa pemerintah perlu meningkatkan pengeluarannya pada tahun 2019 dan pelonggaran target defisit anggaran perlu dipertimbangkan.
CAD Indonesia juga melebar sebesar 3% pada Q2-2019. Hal ini disebabkan penurunan harga komoditas, terutama kelapa sawit, yang menyebabkan kinerja ekspor menurun. Oleh karena itu, LPEM melihat bahwa CAD pada tahun 2019 bisa di atas 2,5%.
Oleh karena itu, LPEM UI melihat BI tidak perlu menurunkan suku bunga untuk menyelamatkan sektor ini karena reformasi struktural di sektor manufaktur dan perdagangan tidak mungkin memberikan hasil dalam jangka pendek.
Bisa diganti dengan menekan jumlah prosedur dan biaya yang ditubuhkan dalam memulai bisnis. Selain itu, yang harus dilakukan adalah dengan memotong secara signifikan waktu dan biaya untuk ekspor.
Baca Juga: Tutup pendanaan US$ 75 juta, East Ventures terus investasi ke startup Asia Tenggara
Ketiga, adalah soal aliran modal yang terus meningkat. Inversi dari yield curve Amerika Serikat seolah menjadi indikasi bahwa krisis ekonomi Amerika akan terjadi di sekitar pertengahan tahun depan, apalagi dengan melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari IMF yang hanya sebesar 3,5% (yoy).
Selain itu ada juga perbedaan ekspektasi pertumbuhan PDB dibanding negara-negara maju yang akan mendorong aliran modal untuk masuk ke Indonesia. "Kami melihat bahwa tren aliran modal masuk portofolio, sejak Q4-2018 dan akan terus berlanjut, walau nanti akan ada penurunan," kata LPEM UI.
Sejak Q4-2018, investasi modal portofolio mendapat aliran modal masuk sebesar US$ 13 miliar. Rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun terakhir hingga bulan lalu mencapai 7,3%. Sementara setahun terakhir hingga bulan lalu mencapai 6,2%.
Baca Juga: Harga nikel terkerek berkat sentimen permintaan mobil listrik
LPEM UI menilai BI masih sangat konservatif dan lambat dalam melakukan pelonggaran moneter. Kepemilikan asing yang sangat tinggi pada obligasi pemerintah Indonesia bisa menjadi rem bagi aksi BI terhadap pelonggaran moneter, tetapi dalam dua minggu terakhir, ada koreksi di pasar obligasi yang seolah menjadi angin segar bagi Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News