Reporter: Noverius Laoli | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Lima perusahaan aspal nasional menyampaikan keberatan atas rencana eksekusi tanah milik mereka di Provinsi Banten. Eksekusi tersebut dilakukan oleh PT Bank Negara Indonesia (BNI) Persero.
Kelima perusahaan itu yakni PT Citra Aspalindo Sriwijaya, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Sarana Aspalindo Padang, PT Perintis Aspalindo Curah, dan PT Medan Aspalindo Utama. Alasan keberatan atas eksekusi tersebut lantaran macetnya pembayaran utang disebabkan krisis moneter pada tahun 1998 lampau.
Kuasa hukumnya kelima perusahaan tersebut, G. Nyoman T. Rae mengatakan para kliennya sebelumnya telah mendapatkan fasilitas kredit modal kerja dari L/C yang dikeluarkan BNI. "Bila digabung, maka total fasilitas yang diterima klien kami bernilai US$ 4,23 juta atau setara Rp 12,67 miliar ketika dikucurkan," ujarnya, Kamis (19/6).
Sebagai agunan, kelima perusahaan ini menjaminkan dua tanah di daerah Pandeglang, Provinsi Banten ke Bank BUMN tersebut. Masing-masing luasnya adalah 7.822 meter persegi dan 5.852 meter persegi atas nama Hajjah Zalinar.
Nilai pinjaman kelima perusahaan ini membengkak menjadi Rp 35,9 miliar dan jatuh tempo pada tahun 1997-1998, ketika krisis moneter melanda Indonesia. "Akibatnya, terjadi selisih kurs yang sangat besar dan membebankan klien kami," tambah Nyoman.
Nyoman menuding, selisih kurs ini disebabkan kelalaian BNI yang tidak menerapkan perlindungan atau hedging kepada nasabahnya. Kendati begitu, Nyoman bilang, kliennya tetap berusaha membayar bunga pinjaman itu senilai Rp 22,73 miliar.
Namun pembayaran fasilitas kredit tersebut akhirnya dinyatakan macet pada 14 Maret 2004. Tapi, Nyoman mengklaim perusahaan-perusahaan ini tetap melakukan pembayaran dengan menjual aset-aset tidak produktif milik mereka. Bahkan perusahaan aspal ini membina kerjasama dengan PT Pakarti Tirto Agung, untuk mengoptimalkan kinerja dan mendapatkan pemasukan untuk membayar utang.
Di luar dugaan, Pakarti wanprestasi alias ingkar janji dan hanya membayar sebesar Rp 15,9 miliar. Perkara tersebut sempat masuk pengadilan pada akhir tahun 2013 dan Pakarti dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 69,5 miliar.
Putusan pengadilan ini belum berkekuatan hukum tetap, dan berkaitan dengan obyek eksekusi BNI. Itulah alasannya perusahaan aspal ini keberatan kedua bidang tanah yang mereka jaminkan ke BNI itu di eksekusi. Mereka meminta agar majelis hakim membatalkan atau mendunda upaya eksekusi oleh bank pelat merah tersebut.
Kuasa hukum BNI Caesar Aidil Fitri mengatakan perusahaan aspal tersebut mencari banyak dalih untuk menghindari ekesekusi atas tanah yang mereka jaminkan ke BNI. Padahal bila mereka serius dan mau bekerjasama dengan BNI yang beberapa kali sudah mengenalkan investor, mereka seharusnya bisa melunasi utang-utang mereka. "Jadi mereka sebenarnya beritikad tidak baik melunasi utangnya," ujarnya.
Kasus ini sekarang tengah memasuki masa mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan kembali menjadwalkan persidangan pada 3 Juli 2014 pasca waktu mediasi selesai. Sengketa yang sama juga tengah bergulir di PN Jakarta Pusat.
Dimana tujuh perusahaan aspal mengajukan penundaan eksekusi BNI terhadap aset mereka. Perusahaan aspal PT Lamindo Sakti Trading Company dan enam anak usahanya mengajukan penundaan eksekusi tanah di daerah Gunung Sahari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News