Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Lifting minyak Indonesia semakin menyusut dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah kurangnya penemuan cadangan baru, lambatnya onstream lapangan minyak baru, hingga kondisi lapangan minyak eksisting yang sudah tua.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun berusaha mengurangi laju penurunan produksi minyak sehingga lifting minyak Indonesia terjaga. Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar bahkan bilang pemerintah telah menetapkan target untuk menjaga lifting minyak di atas 800.000 barel per hari (bph) dalam lima tahun ke depan.
Untuk mencapainya, Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah langkah. Salah satunya dengan membuat program dalam jangka pendek khusus untuk mempertahankan produksi minyak di lapangan-lapangan eksisting saat ini.
Berdasarkan data KESDM, decline rate lapangan migas Indonesia pada 2015 mencapai 29,7%. Pada tahun 2016 decline rate sebesar 21,1%. Diproyeksi dalam lima tahun ke depan lifting minyak Indonesia sudah di bawah 600.000 bph.
Decline rate yang cukup besar itu pun akan disiasati dengan program jangka pendek. Arcandra menyebut dalam program tersebut akan ada tiga langkah yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, SKK Migas, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS).
Langkah pertama adalah mengidentifikasi teknologi yang saat ini sudah tersedia baik dari jenisnya, keberhasilan teknologi tersebut, dan kecocokan teknologi tersebut dengan karakteristik dan kondisi lapangan minyak di Indonesia. "Teknologi-teknologi apa yang tersedia sehingga dalam waktu singkat bisa menaikan produksi,"ujar Arcandra pada Jumat (17/2).
Langkah kedua adalah melakukan workshop dan presentasi dengan semua KKKS untuk menentukan teknologi yang terbaik untuk mempertahankan produksi minyak Indonesia. Langkah ketiga adalah membuat program untuk mempertahankan produksi di masing-masing lapangan minyak eksisting.
Arcandra bilang pemerintah akan menyiapkan program ini dalam beberapa bulan ke depan. Dengan begitu pada tahun depan program ini sudah bisa berjalan secara efektif. Sementara untuk tahun 2017, pemerintah akan merevisi work program and bugdet (WP&B) untuk mempertahankan lifting di atas 800.000 bph.
Langkah ini dirasa lebih mudah dilakukan ketimbang menunggu produksi dari lapangan-lapangan minyak yang baru. Pasalnya lapangan minyak yang baru saat ini rata-rata baru bisa berproduksi setelah 15 tahun dari mulai ditemukannya cadangan minyak (discovery).
Padahal di tahun 1970-an hanya dibutuhkan waktu lima tahun untuk bisa memproduksi minyak di lapangan baru dari ditemukannya cadangan minyak. "Lapangan baru first oil itu butuh waktu 15 tahun. Program ini lima tahun,"ujar Arcandra.
Biarpun begitu Arcandra bilang pemerintah juga akan berusaha untuk mempercepat produksi minyak di lapangan baru. Salah satu caranya dengan mengubah bentuk kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari PSC dengan cost recovery menjadi PSC gross split.
"Salah satu cara percepat adalah mengubah PSC dari konvensional menjadi gross split. Itu bisa mempercepat banyak,"imbuhnya.
Pemerintah juga akan mempermudah perizinan-perizinan yang selama ini menghambat kegiatan eksplorasi hingga ekploitasi blok migas. Salah satunya perizinan untuk pemboran (drilling) eksplorasi.
Arcandra menyebut perizinan untuk drilling eksplorasi di Indonesia membutuhkan waktu hingga tahunan, sedangkan di Amerika hanya membutuhkan waktu dua minggu. Untuk itu Arcandara bilang Kementerian ESDM akan terus mempercepat perizinan baik melalui SKK Migas maupun Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas.
Dia bahkan menyebut Kementerian ESDM berencana untuk memindahkan perizinan yang di daerah ke KESDM. "Selama ini yang menjadi kendala adalah izin-izin yang di luar domainnya Kementerian ESDM, seperti tanah dengan Perhutani, jadi mau melakukan eksplorasi itu butuh izin panjang. Bisa tidak kami bawa ke level yang tinggi, itu kami berusaha," jelas Arcandra.
Di sisi lain pemerintah juga berusaha untuk menstimulus penemuan-penemuan cadangan migas baru. Salah satunya dengan mengeluarkan regulasi agar barang-barang impor yang digunakan oleh KKKS untuk melakukan eksplorasi tidak menjadi aset negara jika kegiatan eksplorasi tidak berhasil. Namun KKKS akan dikenakan bea masuk untuk barang-barang yang diimpor tersebut.
Selama ini barang-barang impor yang digunakan untuk eksplorasi dibeli oleh KKKS memang tidak dikenakan bea masuk. Namun barang-barang tersebut menjadi milik negara baik ketika kegiatan eksplorasi tersebut berhasil atau tidak berhasil.
"Kami mau ubah regulasi. Kalau lapangan tidak ekonomis, barang untuk eksplorasi bisa punya KKKS, bukan milik negara, tetapi mereka membayar bea masuk. Kalau belum masuk cost recovery jangan diklaim milik negara,"tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News