Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah bakal untuk mengimpor minyak mentah dan LPG dari Amerika Serikat dengan nilai sebesar US$ 15,5 miliar atau setara Rp 251 triliun (Asumsi kurs: Rp16.214).
Wacana ini telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato pada saat konfrensi pers. Ia mengungkapkan rencana impor komoditas energi dari Amerika Serikat (AS) bakal resmi diteken pada 7 Juli 2025.
Baca Juga: Investor Global Bersikap Tenang Jelang Batas Waktu Tarif Trump
Hal ini merupakan salah satu tawaran negosiasi pemerintah agar AS tidak mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia.
"Tentu kita ingin agar tarif resiprokal tidak dikenakan terhadap Indonesia. (Sampai nol) ya, tapi tentu mereka punya kebijakan tersendiri," kata Airlangga.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Luky Alfirman menjelaskan, pihaknya belum menerima usulan resmi apa pun terkait skema tersebut.
Kebijakan subsidi energi yang diterapkan pemerintah dipandang masih dalam koridor yang wajar dan belum membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Adapun jika melihat data terbaru APBN Kita, tercatat sampai dengan Mei 2025 belanja subsidi energi telah terealisasi sebesar Rp 66,1 triliun, atau baru 32,5% dari pagu APBN tahun ini yang sebesar Rp 203,4 triliun.
Baca Juga: Keputusan Tarif AS untuk 12 Negara Maju Jadi Senin (7/7) Besok, Indonesia Termasuk?
Para ekonom menilai, rencana impor minyak mentah dan LPG tersebut tidak akan mempengaruhi APBN. Artinya selama harga minyak dunia berada dalam asumsi yang ditetapkan pemerintah, beban subsidi dinilai masih bisa dikelola.
Global Markets Economist Maybank Indonesia menilai bahwa dengan mempertimbangkan nilai impor energi dan harga jual di dalam negeri, kebijakan subsidi yang saat ini berjalan masih cukup aman.
"Kalau misalkan nilainya segitu dan disesuaikan dengan harga jual, pastikan kalau sesuai dengan perhitungan per liternya itu ada subsidi. Tapi harusnya tidak jadi masalah. Jadi kalau saya cermati, langkah yang dilakukan oleh pemerintah sah-sah saja," ungkap Myrdal kepada Kontan, Minggu (6/7).
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu waspada jika harga komoditas energi, khususnya minyak mentah dunia, kembali melonjak signifikan. Bila harga minyak mentah naik di atas US$ 90 per barel atau di atas asumsi APBN sebesar US$ 82 per barel dan bertahan di level tersebut selama dua hingga tiga bulan, maka kondisi itu bisa memberi tekanan terhadap APBN.
"Asalkan harga minyaknya masih seperti sekarang, dan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Keuangan serta Kementerian ESDM—mengalokasikan anggaran di bawah asumsi harga ICP (Indonesian Crude Price), maka seharusnya masih aman, termasuk untuk LPG," jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Tawarkan Gunting Tarif Mendekati 0%, Beli Gandum dan Pesawat Boeing dari AS
Ia juga menyoroti alokasi subsidi untuk LPG yang tahun ini cukup besar, yakni lebih dari Rp80 triliun. Menurutnya, dengan nilai tersebut, beban subsidi elpiji pun tidak akan menjadi persoalan besar, selama harga elpiji internasional tidak melampaui asumsi APBN.
“Ini langkah yang perlu diambil karena kita adalah negara net oil importer. Kita butuh minyak dan butuh LPG juga. Jadi menurut saya, subsidi ini memang perlu,” tegasnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya peningkatan produktivitas sektor hulu energi, terutama lifting minyak dan gas. Untuk itu, ia mendorong pemerintah menaikkan kapasitas lifting minyak menjadi lebih dari 615.000 barel per hari pada tahun depan, serta lifting gas di atas 1 juta barel setara minyak per hari.
Upaya ini harus menurutnya harus dilakukan dengan peningkatan teknologi. Ia menyarankan agar Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju, dengan mengoptimalkan sumber minyak baru maupun sumur tua. Bahkan menjajaki sumber minyak dari luar negeri seperti Afrika Utara atau Siberia.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, kebijakan ini memiliki dampak netral terhadap APBN. Menurutnya, yang dilakukan pemerintah hanyalah mengalihkan sumber pembelian dari negara lain.
Baca Juga: Negosiasi dengan AS, RI Tawarkan Pangkas Tarif, Beli Gandum dan Pesawat Boeing
“Efeknya netral saja terhadap beban APBN. Hanya mengalihkan pembelian dari negara lain, dan harapannya harga bisa lebih murah,” ujar David.
Dengan strategi pengadaan yang cermat dan didukung oleh harga minyak yang relatif stabil, pemerintah dinilai masih memiliki ruang fiskal untuk menjaga kebijakan subsidi tetap berjalan. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat volatilitas harga energi global yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Selanjutnya: Jelang Merger, Adira Finance (ADMF) dan Mandala Finance (MFIN) Tawarkan Buyback Saham
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 7-8 Juli, Siaga Hujan Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News