Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah telah mengubah kriteria penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mengakses rumah subsidi. Selain itu, ada pula rencana pemerintah untuk meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 350.000 unit.
Lantas apakah kebijakan ini akan turut mengerek harga rumah subsidi?
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengatakan, terkait usulan kenaikan batas harga rumah subsidi FLPP terdapat tim yang rutin melakukan pengecekan. Mulai dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dan asosiasi perumahan.
Namub, Bambang belum bisa memastikan berapa besaran kenaikan harga rumah yang diusulkan. Namun, koordinasi yang dilakukan REI dengan pemerintah sejauh ini telah berjalan baik.
“Dari hasil penjualan FLPP dari tahun ke tahun permintaan jauh lebih besar dari kebutuhan,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (28/4).
Baca Juga: Pemerintah Naikkan Batas Penghasilan MBR untuk Akses Rumah Subsidi, Ini Tantangannya
Asal tahu saja, harga rumah subsidi tercantum pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan FLPP, Serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Salah satunya menyebut, untuk wilayah Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Mahakam Ulu harga rumag subsidi ditetapkan sebesar Rp 181 juta dan Rp 185 juta di 2024.
Bambang menyebutkan, sejauh ini hambatan utama yang dihadapi ialah selain ketersediaan KPR bersubsidi yakni kondisi dan kualitas calon konsumen yang kerap terjerat tunggakan pinjaman kredit, sehingga tidak lolos BI Checkhing.
“Mungkin perlu kemudahan persyaratan untuk konsumen, tentu dengan tidak melanggar konsep prudent banking. Karena sering KPR ditolak hanya karena ada tunggakan yang sangat kecil seperti sisa tunggakan Rp 100.000 pun bisa membuat KPR subsidi ditolak,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bambang menuturkan, terkait adanya penambahan kuota rumah subsidi, hunian yang perlu digenjot pembangunannya yakni rumah tapak (landed houses) karena ini merupakan yang paling mudah.
Selain itu, kata dia, hunian vertikal di perkotaan dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) perlu terus dijalankan. Menurutnya, ini bisa memenuhi kebutuhan rumah rakyat, dan meningkatka kualitas hidup masyarakat dengan transportasi terintegrasi.
Baca Juga: REI: Kenaikan Batas Penghasilan MBR, Mengakomodir Anak Muda Miliki Hunian
Sementara itu, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengusulkan harga rumah subsidi naik menjadi Rp 250 juta.
Ketua Umum (Ketum), Djunaidi Abdillah mengungkapkan, usulan kenaikan harga ini demi mendukung kriteria penghasilan MBR untuk mengakses rumah subsidi yang kini menjadi Rp 14 juta.
“Kami mengusulkan harganya Rp 250 juta, makanya (harga) subsidi ini maksimalkan saja di Rp 250 juta dan biar pasar yang mengatur,” katanya di Jakarta, Senin (22/4).
Djunaidi menuturkan, perlu pendataan yang akurat dalam mendata masyarakat agar cocok dengan kriteria yang sudah ditetapkan pemerintah.
“Tinggal didata saja kuotanya, yang (penghasilan) Rp 14 juta ya jangan terlalu banyak mungkin cukup 30%, yang Rp 8 juta cukup 70%. Sehingga masyarakat bawah jangan sampai malah tersedot subsidinya ke atas,” tuturnya.
Selanjutnya: Kementerian BUMN Gelar Workshop “UMKM Naik Kelas” di Surabaya
Menarik Dibaca: Hujan Masih Turun di Wilayah Ini, Berikut Cuaca Besok (29/4) di Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News