Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Dalam eksepsinya, kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Ahok bersifat prematur.
Hal ini dikarenakan JPU dianggap mengabaikan aturan khusus dan langsung menerapkan aturan umum dalam kasus penodaan agama oleh Ahok.
Aturan khusus yang disebut dikesampingkan oleh JPU adalah UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pasal 1, 2, dan 3 undang-undang itu mengatur bahwa setiap menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Lalu, jika setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam negeri, yang bersangkutan masih juga tidak mengindahkan, maka barulah dapat dikenakan Pasal 156a, yang kini menjerat Ahok.
"Dengan demikian dari uraian rumusan delik agama sebagaimana diatur dalam UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1, 2, dan 3, secara hukum dapat dikualifikasikan bersifat khusus," kata kuasa hukum membacakan eksepsi.
Menurut kuasa hukum, undang-undang yang diabaikan oleh jaksa itu masih berlaku dan belum dicabut hingga saat ini.
Meski telah diajukan dua kali ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk judicial review, undang-undang itu masih diberlakukan.
"Argumentasi hukum kami sejalan dan juga sesuai dengan putusan MK Nomor 84/PUU-X/2012 halaman 145 poin 3.16 yang pada pokoknya menytaakan bahwa terhadap dalil para pemohon bahwa Pasal 156a KUHP tidak dapat diberlakukan tanpa didahului dengan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri," kata kuasa hukum. (Nibras Nada Nailufar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News