Reporter: Abdul Basith Bardan, Vendy Yhulia Susanto | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis ekonomi mulai terasa dan tampak di depan mata. Sejumlah lembaga internasional memprediksi tahun ini Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Kondisi krisis ini membuat sejumlah korporasi mulai mengalami kesulitan dalam membayar kewajiban mereka kepada kreditur maupun kepada vendor. Walhasil banyak gugatan karena kreditur menganggap debitur melakukan wanprestasi membayar kewajiban mereka.
Ancaman kebangkrutan korporasi di tengah pandemi virus korona Covid-19 bukan sekadar isapan jempol. Memasuki bulan keempat pandemi Covid-19, sejumlah korporasi mulai menghadapi gugatan di pengadilan karena urusan utang-piutang.
Berdasarkan data yang dihimpun dari lima Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia, hingga akhir semester I-2020 menunjukkan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melesat.
Bila semester I-2019, jumlah perkara PKPU hanya 163 perkara, pada paruh pertama tahun ini jumlahnya sudah 249 perkara atau naik 52,76%.
Baca Juga: Modernland (MDLN) Gelar Restrukturisasi Utang, Begini Skemanya
Sengketa PKPU ini terjada merata pada semua sektor usaha. Seperti konstruksi dan properti, transportasi, logistik, pariwisata, ritel, juga keuangan.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menduga hampir semua usaha menghadapi kesulitan cash flow karena turunnya pasokan dan permintaan selama pandemi.
"Ada efek domino dari dari suply chain, yakni terlambat bayar utang karena dampak pembatasan aktivitas selama Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB)," kata dia, Rabu (22/7).
Baca Juga: Cowell Development (COWL) Pailit, Utang Menumpuk, Nasibnya Ditentukan Kreditur
Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jamaslin James Purba memprediksi perkara PKPU di pengadilan bisa terus meningkat bila kondisi ekonomi dalam negeri belum membaik.
Banyaknya perkara PKPU menjadi pertanda bahwa pilihan penyelesaian kasus wanprestasi utang dengan restrukturisasi utang melalui pengadilan.
Perbankan terkena getah >>>
Kekhawatiran lain, dari tren maraknya PKPU ini, perbankan yang ikut menjadi kreditur mayoritas di korporasi yang menghadapi PKPU bisa kena getahnya.
Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma melihat meningkatnya PKPU bukan semata utang bermasalah karena pandemi Covid-19, melainkan karena sebagian korporasi tersebut sudah memiliki masalah sebelum pandemi.
Baca Juga: Grup Fikasa Tersandung Dugaan Gagal Bayar Promissory Notes
Perbankan pasti sudah menghitung potensi gagal bayar korporasi ini. "Jadi bukan karena Covid-19 semuanya ini. Menurut saya, tidak semua begitu ya," kata Suria.
Namun, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee melihat, tren PKPU meningkat, tidak akan berpengaruh langsung ke perbankan yang memberikan kredit kepada korporasi yang bermasalah dengan utang di pengadilan itu.
Baca Juga: Produsen Sarung Gajah Duduk Digugat PKPU di Pengadilan Niaga Semarang
"Dampaknya pada perbankan memang ada, tapi perbankan sudah punya opsi restrukturisasi kepada debitur dan tidak mencatatnya sebagai kredit macet," ucap dia.
Agar dampak kesulitan likuiditas di sektor usaha ini tidak meluas, Shinta berharap pemerintah segera menggenjot daya beli masyarakat lewat belanja pemerintah, serta pemberian stimulus. Dengan cara ini dunia usaha tetap dapat order dan beroperasi.
Baca Juga: Tiphone (TELE) dan Empat Entitas Anak Resmi Berstatus PKPU
Senda dengan Shinta, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Ajib Hamdani melihat saat ini, sektor-sektor yang bermasalah dengan utang, terutama pada sektor sekunder dan tersier.
Karena itu, ia berharap pemerintah membenahi sektor primer seperti industri sumber daya alam sehingga industri turunannya mengekor. Selain itu, pemerintah harus membantu UMKM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News