Reporter: Abdul Basith Bardan, Vendy Yhulia Susanto | Editor: Syamsul Azhar
Kekhawatiran lain, dari tren maraknya PKPU ini, perbankan yang ikut menjadi kreditur mayoritas di korporasi yang menghadapi PKPU bisa kena getahnya.
Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma melihat meningkatnya PKPU bukan semata utang bermasalah karena pandemi Covid-19, melainkan karena sebagian korporasi tersebut sudah memiliki masalah sebelum pandemi.
Baca Juga: Grup Fikasa Tersandung Dugaan Gagal Bayar Promissory Notes
Perbankan pasti sudah menghitung potensi gagal bayar korporasi ini. "Jadi bukan karena Covid-19 semuanya ini. Menurut saya, tidak semua begitu ya," kata Suria.
Namun, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee melihat, tren PKPU meningkat, tidak akan berpengaruh langsung ke perbankan yang memberikan kredit kepada korporasi yang bermasalah dengan utang di pengadilan itu.
Baca Juga: Produsen Sarung Gajah Duduk Digugat PKPU di Pengadilan Niaga Semarang
"Dampaknya pada perbankan memang ada, tapi perbankan sudah punya opsi restrukturisasi kepada debitur dan tidak mencatatnya sebagai kredit macet," ucap dia.
Agar dampak kesulitan likuiditas di sektor usaha ini tidak meluas, Shinta berharap pemerintah segera menggenjot daya beli masyarakat lewat belanja pemerintah, serta pemberian stimulus. Dengan cara ini dunia usaha tetap dapat order dan beroperasi.
Baca Juga: Tiphone (TELE) dan Empat Entitas Anak Resmi Berstatus PKPU
Senda dengan Shinta, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Ajib Hamdani melihat saat ini, sektor-sektor yang bermasalah dengan utang, terutama pada sektor sekunder dan tersier.
Karena itu, ia berharap pemerintah membenahi sektor primer seperti industri sumber daya alam sehingga industri turunannya mengekor. Selain itu, pemerintah harus membantu UMKM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News