Reporter: Yudho Winarto | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Langkah PT Graha Layar Prima, pengelola bioskop Blitz Megaplex mempersoalkan dugaan monopoli film nasional oleh jaringan 21 Cineplex di bawah PT Nusantara Sejahtera kandas. Kemarin (20/10), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan untuk tidak melanjutkan laporan Blitz tersebut ke tahap pemeriksaan.
Alhasil, Blitz harus puas kasus ini hanya berhenti sampai tahap klarifikasi saja. "Laporan monopoli distribusi film yang dilaporkan Blitz tidak lengkap dan tidak jelas," dalih Juru Bicara KPPU, Ahmad Junaidi, Selasa (20/10).
Dia bilang, dalam laporan Blitz, KPPU tidak menemukan bukti yang mengindikasikan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Semula, Blitz menuding, dalam mengedarkan film nasional, 21 Cineplex beserta distributor dan produsernya melanggar delapan pasal dalam beleid itu.
Merujuk delapan pasal dari UU itu, Blitz menuding 21 Cineplex melakukan sejumlah kecurangan. Pertama, praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kedua, dominasi penguasaan pasar. Ketiga, pemberlakuan perjanjian distribusi film secara tertutup yang mengakibatkan pembagian hasil pertunjukan film tidak transparan. "Setelah diklarifikasi dengan produser sebagai salah satu terlapor, KPPU tidak menemukan perjanjian atau kegiatan yang melanggar pasal itu," imbuh Junaidi.
Saat dikonfirmasi, Blitz mengaku belum bisa memberikan komentar banyak. Alasannya, mereka belum mendengar dan mendapatkan pemberitahuan resmi hasil klarifikasi dari KPPU. "Kami belum bisa berkomentar. Nanti koordinasi dengan tim lainnya," jelas Wahyuni Bahar, salah satu anggota tim kuasa hukum Blitz.
Kendati begitu, Blitz memastikan akan terus berupaya memperjuangkan hak-hak mereka dalam mendapatkan distribusi film nasional. "Blitz akan terus mencari upaya untuk mengatasi tata edar kopi film ini biar semuanya transparan," tukas Wahyuni.
Mediasi terancam
Kasus ini bermula saat Blitz mengaku kesulitan menayangkan beberapa film nasional. Tahun 2007 lalu, Blitz mengeluh hanya dapat menayangkan sembilan dari 48 film nasional yang tayang di bioskop seluruh Indonesia.
Tahun berikutnya, Blitz juga cuma bisa memutar 65 dari 84 film nasional. Adapun sampai 6 Agustus 2009, Blitz baru menayangkan 19 dari 55 film nasional. Mereka lantas menuding jaringan bioskop 21 Cineplex berada di balik kejadian itu. Makanya, Juni lalu, mereka melaporkan 21 Cineplex ke KPPU.
Celakanya, keputusan KPPU menghentikan pemeriksaan kasus ini bisa membawa dampak atas rencana mediasi Blitz dan 21 Cineplex. Maklum, Blitz hanya mau melanjutkan mediasi ini jika KPPU melanjutkan kasus ini ke tahap pemeriksaan (Harian KONTAN, 19 Oktober).
Sayangnya, Wahyuni lagi-lagi enggan berbicara banyak soal kelanjutan mediasi ini. "Soal itu, kami juga perlu koordinasi," kilah dia. Kendati begitu, ia menjelaskan bahwa laporan Blitz tidak semata membahas ihwal persaingan usaha antarpelaku industri film. Laporan itu juga menyangkut kode etik pelaku usaha perfilman khususnya tata cara peredaran salinan film nasional.
Berbeda dengan Blitz, manajemen 21 Cineplex mengaku lega atas putusan KPPU. Apalagi, putusan itu semakin memperkuat bahwa 21 Cineplex tidak melakukan monopoli dalam peredaran film nasional. "Sejauh ini, kami kooperatif dalam memberikan data. Kami juga tidak menekan para produser seperti apa yang dituduhkan," tegas Anityo, Direktur 21 Cineplex.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News