kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,53   -6,82   -0.73%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

KPPOD: Online Single Submission di tingkat daerah masih belum berhasil


Rabu, 11 September 2019 / 15:21 WIB
KPPOD: Online Single Submission di tingkat daerah masih belum berhasil
ILUSTRASI. Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik


Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan bahwa perizinan masih menjadi beban utama dunia usaha dalam pengembangan investasi di daerah. Artinya, sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik atau Online Single Submission (OSS) di tingkat daerah masih belum berhasil.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (PP) no. 24 tahun 2018 tentang OSS dan meluncurkan sistem tersebut pada Juli 2018 untuk mempermudah perizinan dan mendorong kepastian untuk memulai usaha.

Setahun setelah diterapkan, akhirnya KPPOD melakukan studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) di enam provinsi di Indonesia, dan dari hasil tersebut ditemukan bahwa masalah OSS terletak pada tiga aspek, yaitu aspek regulasi, sistem, dan tata laksana.

Dari aspek regulasi, KPPOD menemukan adanya disharmoni PP no. 24 tahun 2019 dengan Undang-Undang (UU) no. 25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Baca Juga: OSS Terintegrasi dengan SIMKIM, Proses Penerbitan Izin Tinggal Jadi Lebih Mudah

"Disharmoni tersebut terlihat dalam empat poin PP tersebut dan yang terlihat lain adalah kelembagaan dan kewenangan. Masih terjadi kebingungan antara lembaga yang memiliki kewenangan dan lembaga yang bertanggung jawab," kata peneliti KPPOD Boedi Rheza kepada Rabu (11/9) di Jakarta.

Boedi menambahkan izin yang nantinya diterbitkan tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab dari lembaga penerbit.

Selanjutnya dari aspek sistem. KPPOD menemukan daerah-daerah sulit untuk berintegrasi dengan sistem OSS, terutama dalam fitur penentuan lokasi usaha (location tagging) yang belum sinkron dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) serta ketersediaan rencana detil tata ruang (RDTR).

Boedi memaparkan baru 10% daerah yang memiliki RDTR dan dapat menyebabkan pendirian lokasi usaha yang tidak sesuai dengan perencanaan daerah yang bahkan sudah ditetapkan dalam dokumen RTRW atau bahkan tidak berbasis lokasi.

Dan bila dilihat dari segi aspek tata laksana, OSS mengalami kendala baik terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, sistem OSS belum terintegrasi utuh dengan sistem perizinan K/L. Sementara di daerah masih terlihat banyak Pemda yang memiliki perizinan daerah mandiri berbasis aplikasi yang bahkan belum terintegrasi dengan OSS.

Baca Juga: China lebih pilih Vietnam ketimbang Indonesia, ini catatan ekonom

Oleh karena itu, KPPOD mengimbau pemerintah untuk meninjau ulang regulasi terkait OSS sehingga tidak saling tumpang tindih. Lalu pemerintah pusat juga sebaiknya mengupayakan integrasi sistem OSS dengan sistem mandiri daerah dan memperbaiki fitur OSS sehingga tidak ada kendala teknis yang memperlambat birokrasi pelayanan.

Selanjutnya, untuk pemerintah daerah, perlu mematangkan infrastruktur pendukung seperti komputer dan internet, sumber daya manusia (SDM), anggaran, dan sosialisasi yang masif terkait dengan OSS sehingga lebih optimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×