kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

KPK sulit jerat korporasi sebagai pelaku korupsi


Selasa, 15 November 2016 / 17:53 WIB
KPK sulit jerat korporasi sebagai pelaku korupsi


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, penegak hukum masih ragu untuk menjerat korporasi sebagai pelaku kasus korupsi.

Pada beberapa kasus korupsi, menurut dia, ada indikasi keterlibatan korporasi.

Laode berpendapat, keraguan itu karena subjek hukum dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) adalah orang, bukan korporasi.

"Selama ini belum ada guidance (pedoman) yang cukup, karena itu hanya disebut di dalam UU Tipikor bahwa korporasi bisa bertanggung jawab, TPPU juga begitu. Tetapi bagaimana mengoperasikanya di dalam KUHAP belum ada," ujar Laode, dalam sebuah seminar di Jakarta Pusat, Selasa (15/11).

"Oleh karena itu, maka KPK, Kejaksaan dan polisi masih agak ragu menjerat korporasi sebagai subjekt pelaku tindak pidana korupsi," tambah dia.

Ia berharap, peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai pemidanaan untuk korporasi segera diterbitkan.

Selama ini, yang dijerat dalam kasus korupsi hanya petinggi perusahaan, seperti direktur perusahaan dan pihak lainnya yang turut terlibat.

"Oleh karena itu kami bersama-sama untuk membuat Perma ini, semoga ini menjadi seminar terakhir untuk membuat Perma itu. Dalam waktu dekat Mahkamah Agung bisa melakukan," kata dia.

Sementara itu, Hakim Tinggi pada Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Bettina Yahya mengatakan, salah satu perkara yang menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi terjadi di Banjarmasin, yakni PT Giri Jaladhi Wana (GJW), pada 2010.

Pada kasus itu, jaksa penuntut umum menuntut agar PT GJW dinyatakan terbukti melanggar pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 juncto Pasal 20 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

"Dengan pidana denda sebesar Rp 1,3 miliar serta pidana tambahan berupa penutupan sementara selama enam bulan," kata dia. (Fachri Fachrudin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×