Sumber: Kompas.com | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pakar Komunikasi Politik Tjipta Lesmana membandingkan ketegasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers sebagai pengawas media massa di Indonesia. Hasilnya, KPI dinilai kalah tegas dibandingkan Dewan Pers.
KPI adalah lembaga yang bertugas mengawasi media elektronik seperti televisi dan radio, sementara Dewan Pers adalah lembaga yang mengawasi media massa cetak seperti koran dan majalah.
“KPI seharusnya lebih berani bertindak. Sayang KPI enggak berani, sudah jelas-jelas banyak televisi yang melanggar kok sikapnya hanya begitu. Dewan pers yang mengawasi media cetak, lebih bagus dan lebih bergigi,” kata Tjipta dalam diskusi bertajuk "Netralitas Aparat dan Media pada Pemilu 2014" di Jakarta, Senin (17/2/2014) malam.
Padahal, menurut Tjipta, televisi merupakan media yang paling sering dimanfaatkan politisi untuk mengkampanyekan kepentingannya dibandingkan media cetak atau online. Secara otomatis, kata dia, media televisi menjadi media yang paling banyak melangggar aturan kampanye.
Namun, ujar Tjipta, selama ini televisi kerap lolos dari hukuman sekalipun jelas melakukan pelanggaran aturan kampanye. Kalaupun dihukum, kecam dia, hanya hukuman ringan yang didapat, berupa teguran saja.
Padahal, kata Tjipta, televisi punya efek yang lebih besar dibandingkan media cetak atau online. "Kalau media cetak atau online, kita sudah tahu pemiliknya berkepentingan, gampang saja, jangan berlangganan (media cetak), kalau online jangan di-klik. Tapi kalau TV ini kan kadang ada acara yang bagus, saat kita asyik nonton, eh nongol pemiliknya,” ujar dia.
Saat ini, menurut Tjipta sangat sulit mengharapkan KPI bertindak tegas atas pelanggaran aturan kampanye pemilu. Karenanya, ujar dia, harus dipergencar imbauan kepada masyarakat untuk cerdas mengonsumsi informasi dari media. Dengan demikian, masyarakat diharapkan tidak mudah terpengaruh kampanye dan propaganda dari media massa tertentu, terutama televisi. (Ihsanudin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News