Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik antara Rusia dan Ukraina makin memanas, apalagi setelah Amerika Serikat (AS) dan negara Barat mulai memberlakukan sanksi-sanksi pada bank-bank Rusia.
Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz menilai, konflik Rusia dan Ukraina ini dapat berdampak besar ke inflasi Indonesia melalui transmisi harga minyak. Sebab, perang Rusia-Ukraina telah mendorong harga minyak dunia hingga ke level lebih dari US$ 100 per barel.
“Apalagi, seperti kita ketahui harga minyak memiliki bobot 5% poin, yang relatif cukup besar dalam inflasi, bila dibandingkan dengan barang-barang lain dalam keranjang inflasi,” ujar Irman kepada Kontan.co.id, Minggu (27/2).
Apalagi, minyak sebagai bahan bakar utama industri. Kenaikan harga minyak tentu akan menyebabkan harga-harga barang lain naik.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Melonjak, Ada Rencana Menaikkan Harga BBM?
Selama pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (terutama RON 90 dan RON 92) maka dampak inflasi diperkirakan kecil atau hanya sekitar 0,07%. Namun, bila pemerintah menyesuaikan harga RON 90, maka dampak inflasi bisa cukup signifikan.
Menurut analisa sensitivitasnya, bila harga BBM RON 90 naik Rp 500 per liter, inflasi bisa naik 0,69% poin. Kalau BBM RON 90 naik Rp 1.000 per liter, inflasi bisa naik 1,44% poin, dan bila harga BBM naik hingga Rp 2.000 per liter, inflasi bisa naik hingga 2,62% poin.
Sementara itu, Ukraina merupakan salah satu negara sumber impor gandum terbesar Indonesia. Hanya saja, Irman melihat dampaknya akan kecil karena impor utama masih datang dari Australia.
“Indonesia masih bisa mencari negara lain untuk substitusi gandum. Selain itu, bahan pokok konsumsi utama Indonesia masih beras sehingga serealia akan berdampak minimum,” tambah Irman.
Lebih lanjut, untuk meminimalisir dampak inflasi dari konflik ini terhadap Indonesia, Irman menyarankan agar Indonesia melakukan beberapa hal.
Pertama, harus adanya substitusi impor untuk barang-barang yang diimpor secara langsung dari Ukraina dan Rusia.
Kedua, pemerintah dan Pertamina harus bersiap untuk menahan dampak harga minyak dunia ke neraca Pertamina dengan menyiapkan dana yang lebih agar inflasi tidak terlalu melonjak, apalagi menjelang lebaran.
“Mitigasi risiko dari sisi harga energi ini perlu diperhatikan ditengah permintaan domestik yang mulai akseleratif,” katanya.
Namun demikian, bila melihat level inflasi yang masih di kisaran 2% atau relatif rendah, Faiz optimistis risiko inflasi yang lebih tinggi dari harga energi tersebut masih bisa ditahan. Namun, dengan catatan ini harus bisa dikelola dengan tepat.
Baca Juga: Begini Dampak Konflik Rusia-Ukraina pada Inflasi Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News