Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengusahaan (BP) Batam mengungkapkan investasi di kawasan Rempang terancam batal apabila penyelesaian lahan belum juga rampung.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi menjelaskan, MoU pengembangan kawasan Rempang sudah dilakukan sejak tahun 2004. Dari perjanjian tersebut, luas lahan yang akan dikembangkan sekitar 17.600 hektar. Jumlah itu terdiri dari sekitar 10.280 hektar hutan lindung dan 7.572 hektar yang digunakan PT MEG untuk investasi.
Kemudian, dari 7.572 hektar, pada tahap awal lahan yang akan dikembangkan sekitar 2.000 hektar. Adapun, tenggat waktu penyelesaian 2.000 hektar lahan tersebut adalah 28 September 2023.
Rudi menambahkan, pihaknya telah menyiapkan lahan relokasi seluas 450 hektar untuk 2.632 kartu keluarga (KK) warga terdampak. Nantinya, tidak hanya rumah, fasilitas sosial lainnya juga akan dibangun.
Baca Juga: Jokowi: Hilirisasi Industri Menjadi Langkah Penting Menuju Indonesia Maju 2045
Rudi menyebut, uang yang bisa didapat BP Batam dari uang sewa/uang wajib tahunan dari 7.572 hektar selama 30 tahun sekitar Rp 1,4 triliun. Sedangkan, perkiraan biaya yang digunakan untuk relokasi warga terdampak sekitar Rp 1,6 triliun.
Lebih lanjut Rudi mengatakan, dalam kawasan 2000 hektar, rencananya akan dibangun 13 item proyek. Salah satunya terkait solar kaca.
Menurut Rudi, pengembangan solar kaca dari pasir silika akan menghasilkan debu. Debu hasil pengolahan itu jika terus menerus dihirup selama 5 tahun sampai 10 tahun ke depan akan berdampak pada paru-paru yang bermasalah.
Sebab itu, investor ingin adanya relokasi warga agar warga tidak terdampak hal tersebut. "Kalau enggak selesai bisa saja (investasi lari)," ujar Rudi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Rabu (13/9).
Lebih lanjut, Rudi mengatakan, sosialisasi terkait penyelesaian lahan pada April sampai Juni 2023 sebenarnya sudah berjalan baik.
Baca Juga: RI Gandeng Perusahaan Kaca Asal China untuk Hilirisasi Industri Kaca
Rudi mengungkapkan, terdapat pengusaha yang menguasai lahan di atas 17.600 hektar milik HPL PT MEG. Ada pengusaha yang menguasai 100 hektar dan ada juga yang mengusai 200 hektar.
Karena statusnya hutan lindung dan HPL, maka mereka tidak akan diganti rugi dan akan diambil kembali.
"Ini yang menjadi pro kontra sehingga mereka menggunakan alasan masyarakat yang 16 kampung di atas 17.000 hektar. Sehingga mereka mengumpulkan kekuatan untuk meminta agar kampung tua tidak dipindahkan," ungkap Rudi.
Padahal, lanjut Rudi, kampung tua dipindahkan dengan tujuan mengubah taraf hidup warga terdampak yang direlokasi.
Rudi mengakui, pada tahap awal, tidak bisa semua 2.732 KK warga direlokasi di pinggir pantai karena tidak cukup pantainya. Akan tetapi, pihaknya akan membangunkan dermaga umum untuk bongkar muat seluruh relokasi 16 kampung tua. Sehingga berdampak pada kegiatan ekonomi yang diyakini bangkit lagi.
Baca Juga: Ini Alasan Pelaku Usaha Soal Jangan Terburu-Buru Larang Ekspor Pasir Silika
"Dan mulai hari ini sebetulnya kami sudah mulai membuka jalan untuk ke relokasi," terang Rudi.
Sebagai informasi, dalam paparan BP Batam, rencananya akan dibangun industri Photovoltaic Solar Industrial Park yang membutuhkan lahan kurang lebih 1.154 hektar dan 370 hektar untuk landmark tower.
Adapun nilai investasi diperkirakan sekitar US$ 11,5 miliar atau sekitar Rp 175,9 triliun dan penyerapan tenaga kerja 35.000 orang.
Rencana pengembangan di kawasan tersebut meliputi manufaktur polysilicon, panel sel surya, kaca float, kaca mobil, dan kaca arsitektur hemat energi. Serta fasilitas manufaktur pendukung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News