Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia bertekad menjaga rupiah tetap berada di bawah Rp 9000. Dia yakin, rupiah bisa menguat lagi karena kondisi fundamental serta faktor kepercayaan dunia terhadap Indonesia cukup baik.
Pergerakan rupiah tidak terlepas dari intervensi yang dilakukan Bank Indonesia. Intervensi tersebut dilakukan untuk terus menjaga stabilisasi pasar Surat Utang Negara (SUN). Pemerintah pun sudah menyiapkan diri apabila nanti kepemilikan SUN dilepas oleh para investor. "Ya memang terjadi penurunan nilai tukar rupiah sekitar 30-40 basis poin. Tapi kita tidak perlu panik menghadapi situasi ini,” ujarnya.
Ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap global semakin mengecil. Hal tersebut ditandai dengan rasio ekspor terhadap PDB yang tiap tahun menurun. Pada tahun 90-an rasio ekspor terhadap PDB kita masih sekitar 30%, namun sekarang itu rasionya terus menurun sekitar 26%.
Kunci utama agar pertumbuhan ekonomi terus membaik adalah pertumbuhan pasar domestik. Untuk itu, diharapkan agar impor yang masuk ke Indonesia tidak hanya berupa barang jadi tetapi juga bahan baku. Bahan baku ini diharapkan bisa diolah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
"Oleh sebab itu pasar domestik ini jangan sampai dimasuki oleh barang-barang impor saja, harus kreatif meningkatkan mesin-mesin produksi industri kita untuk memenuhi pasar domestik," kata Hatta.
Sementara itu, Ekonom BCA, David Sumual mengatakan, ancaman krisis bisa dilihat dari gejolak di sektor finansial. Menurutnya, ekonomi di sektor real masih bagus. "Pertumbuhan kita masih bagus karena kita mengandalkan pasar domestik. Kalau potensi ke Indonesia saya rasa kecil karena pergerakan ekonomi kita 64% ditunjang oleh ekonomi domestik," katanya.
Menurut David, pergerakan rupiah yang cenderung melemah belakangan ini diakibatkan karena adanya sentimen negatif. Dikatakannya, pelemahan tersebut masih dalam kondisi fundamental yang baik. "Bisa disebut krisis kalau memang sudah bergerak ke kisaran diatas Rp 11.000. Kalau masih Rp 9000 - 9500, itu masih fundamental," ujar David.
David melihat, meski terjadi penurunan cadangan devisa sebesar US$ 2 miliar dari US$ 124,6 miliar menjadi sekitar US$ 122 miliar, namun kondisi ekonomi masih cenderung baik. Ia membandingkan dengan krisis di tahun 2008 lalu. "Kalau kita lihat di tahun 2008 cadangan devisa menyusut menjadi US$ 50- 60 miliar. Saya tidak bilang parameter krisis apabila cadangan devisanya 50-60 miliar, tetapi memang cadangan devisa masih cukup bagus," katanya.
Sementara itu, soal rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional yang masih terjaga di atas 8% saat risiko resisi naik, merupakan salah satu yang terkuat, sebab di negara lain CAR berada di kisaran 10%. "Indonesia bisa disebut krisis jika kredit macet di atas," ujarnya.
Ekonom dari Universitas Indonesia A. Prasetyantoko menilai sebaliknya, kondisi ekonomi global yang bergejolak sehingga menekan nilai tukar rupiah serta indeks saham benar-benar di luar dugaan. Menurutnya, jika dilihat kondisi saat ini, potensi krisis bisa saja seperti tahun 2008.
"Ini pengaruh dari perkembangan krisis di Eropa. Tapi ini di luar dugaan. Karena selama ini fokusnya ke Yunani, tapi sekarang Italia juga ikut turun. Kepanikan tinggi membuat investor lari," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (22/9).
Menurutnya, krisis bisa terjadi seperti 2008 lalu karena penurunan kinerja ekonomi amerika sangat parah. "Ada dua yang menjadi indikator krisis bisa seperti 2008, pertama karena efek domino dari AS dan Eropa, sehingga dampaknya menjadi dobel, dan AS tidak punya prospek jangka panjang," katanya.
Prasetyantoko menilai, prospek jangka panjang AS dan Eropa sangat kecil sehingga membuat investor melarikan uangnya. Dikatakannya, jika dampak krisis di Itali bisa diisolasi, maka akan ada perkembangan baik untuk beberapa hari ke depan.
"Kalau tidak terjadi sesuatu, saya rasa minggu depan sudah mulai tenang dan dana mulai kembali lagi masuk ke pasar Indonesia," ujarnya. Kondisi ini akan menjadikan investor tidak punya pilihan lain selain mencari negara emerging market, termasuk Indonesia.
Dia menilai saat ini Bank Indonesia (BI) sudah melakukan berbagai intervensi pasar dengan baik. "BI sudah intervensi pasar. Intervensinya agak besar supaya kejatuhan nilai tukar tidak parah," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News