Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BOGOR. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ingin meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sektor Penyiaran.
Untuk meningkatkan PNBP tersebut, Kominfo mengusulkan agar PNBP penyelenggaraan penyiaran dan kewajiban pelayanan universal dalam bentuk persen pendapatan kotor (gross revenue). Ini masuk dalam usul Kominfo untuk Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang direncanakan masuk dalam Prolegnas 2020.
Baca Juga: BUMI dan Freeport Setor PNBP Terbesar
Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Geryantika Kurnia mengatakan, dengan usul tersebut maka PNBP dapat melejit. Pasalnya, pendapatan lembaga penyiaran bisa mencapai Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun, sementara PNBP penyiaran selama ini hanya sekitar Rp 92 miliar.
"Bila dibandingkan dengan telekomunikasi, [PNBP] telekomunikasi bisa menyumbang ke negara hampir Rp 17 triliun, penyiaran hanya Rp 92 miliar," tutur Geryantika, Senin (25/11).
Baca Juga: Ketua MPR desak pemerintah terapkan SIN untuk dongkrak penerimaan pajak
Menurut Geryantika, nantinya biaya hak penyelenggaraan (BHP) di sektor penyiaran akan meniru BHP telekomunikasi. Meski begitu, Geryantika belum bisa menyebut berapa besar persentase dari pendapatan kotor yang akan ditetapkan. Dia mengatakan, Kominfo masih menghitung berapa angka yang tepat.
"Kita lagi hitung mana yang paling pas di kita. Kalau negara lain ada yang 4% ada yang 7%," ujar Geryantika.
Lebih lanjut, Geryantika menjelaskan, dengan usul tersebut diharapkan akan menciptakan keadilan antara lembaga penyiaran negeri, swasta dan komunitas.
"Sekarang itu baik lembaga penyiaran komersial, publik atau komunitas membayarnya sama. Lembaga penyiarannya untung atau rugi, bayarnya juga sama. Ini kan tidak adil bagi mereka," ujar Geryantika.
Baca Juga: Sebanyak 23 perusahaan tambang raih penghargaan IMA 2019, berikut daftarnya
Selama ini, kata dia, PNBP penyiaran ditetapkan berdasarkan zonasi saja. Misalnya, untuk wilayah DKI Jakarta biaya izin untuk frekuensi dikenakan sekitar Rp 60 juta dengan jaya izin jasa penyiaran Rp 60 juta, jadi seluruh lembaga penyiaran membayar Rp 120 juta.
Dengan usul ini, Geryantika pun berharap nantinya lembaga-lembaga yang tidak bersifat komersial tidak dikenakan biaya izin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News