kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,47   -12,05   -1.29%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Koalisi masyarakat menilai upaya PK Kemkeu soal swastanisasi air tak tepat


Senin, 07 Mei 2018 / 22:56 WIB
Koalisi masyarakat menilai upaya PK Kemkeu soal swastanisasi air tak tepat
ILUSTRASI. Sidang Palu Hakim


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menilai upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kementerian Keuangan (Kemkeu) atas putusan Mahkamah Agung 31 K/Pdt/2017 soal swastanisasi air di Jakarta tak tepat.

Bahkan Arif Maulana, kuasa hukum pemohon kasasi menyatakan upaya PK dari Kemkeu adalah sebuah kesalahan dan justru menghalalkan upaya swastanisasi air.

"Saya kira langkah hukum yang dilakukan Kemkeu dengan mengajukan PK adalah kecerobohan besar," kata Arif aaat menggelar jumpa pers di LBH Jakarta, Senin (7/5).

Ada enam alasan mengapa Arif berkata demikian. Pertama, Arif menilai Kemkeu menyalahi regulasi soal pengelolaan air, lantaran menyerahkannya kepada pihak swasta.

Kedua, upaya PK justru bisa menghambat eksekusi putusan Mahkamah Agung tersebut. Ketiga, PK Kemkeu justru akan semakin menambah beban negara dalam menanggung kerugian PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), dan PT Aetra.

Sebab, melalui pada 26 Desember 1997 terbit support letter nomor S-684/MK.01/1997 yang akan menanggung seluruh kerugian Palyja dan Aetra dalam upaya swastanisasi air di Jakarta.

Kata Suhendri Nur, salah satu pemohon Kasasi menyebutkan sejak beberapa tahun lalu PAM Jaya justru makin merugi. Ia mengutip audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Jakarta yang menyatakan bahwa ada kerugian senilai Rp 1,2 triliun yang ditanggung PAM Jaya sejak kontrak kerjasama dengan Palyja dan Aetra hingga Desember 2016.

"Jadi pernyataan Direktur PAM Jaya yang menyebut bahwa kerugian hanya ada di atas kertas itu tak benar," katanya dalam kesempatan yamg sama.

Sementara itu, dilanjutkan Arif, alasan keempatnya, adalah soal bahwa upaya PK justru terang-terangan menunjukkan watak pemerintah yang mendukung swastanisasi air.

Kelima, Arif menilai, sebagai bendahara negara upaya Kemkeu justru tak mencerminkan prinsip penggunaan anggaran negara yang efisien dan efektif. Alasannya tentu soal support letter tadi.

"Keenam, Kemkeu tak punya alasan mengajukan PK. Kalau yang dipermasalahkan adalah surat kuasa, itu sudah tepat, gugatan Citizen Law Suit pun sudah sesuai prosedur," jelas Arif.

Sebelumnya, pada 22 Maret 2018, Kemkeu mengajukan PK atas putusan MA tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemkeu Nufransa Wira Sakti menjelaskan PK diajukan  lantaran support letter menyatakan penjaminan atas seluruh kerugian Palyja dan Aetra dalam upaya swastanisasi air di Jakarta.

"Karena Kemkeu membuat penjaminan yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah maka dilakukan upaya hukum maksimal. Tapi Kemkeu menghormati setiap putusuan inkracht," kata Nufransa saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/5).

Sementara dari berkas memori PK yang diperoleh Kontan.co.id, ada empat poin keberatan yang diajukan oleh Kemkeu.

Pertama, soal gugatan Citizen Law Suit (CLS) yang tak tepat karena memasukan Palyja dan Aetra sebagai tergugat. Kedua, Kemkeu menilai pertimbangan Judex Juris Mahkamah Agung melampaui gugatan CLS, Di mana dalam amar putusannya disebut pengelolaan air kepada swasta adalah perbuatan melawan hukum.

Ketiga, masih dalam pertimbangan Judex Juris, Mahkah Agung dinilai khilaf dan keliru, lantaran surat kuasa pemohon kasasi dinilai Kemkeu cacat hukum. Sebab perlu surat kuasa khusus, dan tak memenuhi syarat formil Surat Edaran Mahkamah Agung 6/94 soal surat kuasa. Empat, putusan MA tersebut dinilai dianggap Kemkeu mencampuradukan perkara perdata dan tata usaha negara. Sebab Support Letter yang turut jadi objek gugatan merupakan objek tata usaha negara.

"Karena hal-hal tersebut tak menjadi pertimbangan Majelis Hakim, maka dalam PK kota ulangi lagi," lanjut Nufransa.

Mengingatkan, pada 10 April 2017, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KSMMAJ). Dalam amar putusannya, pemerintah dinilai bersalah lantaran menyerahkan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Dalam hal ini adalah PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra.

Dalam amar putusan kelimanya, pemerintah juga diminta untuk menghentikan swastanisasi air, mengembalikan pengelolaan air di Jakarta sesuai Perda 13/1992.

Terakhir, pemerintah melaksanakan pengelolaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi melalui UU 11/2005 Jo. Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 Hak Atas Air Komite Persatuan Bangsa-Bangsa Untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×