Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan, aturan tentang penangkapan ikan terukur menunggu persetujuan Presiden Jokowi. KKP menyebut, hingga saat ini sudah ada 20 perusahaan yang telah berkonsultasi untuk menanyakan rencana kebijakan tersebut.
"Yang datang untuk menanyakan sudah banyak, sudah ada 20 lebih (perusahaan) baru nanya konsultasi bagaimana cara dan sebagainya nanti kita lihat karena peraturannya saat ini sedang menunggu persetujuan presiden," ujar Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M Zaini Hanafi dalam konferensi pers, Senin (4/4).
Zaini mengatakan, masih terdapat kesalahpahaman mengenai kebijakan penangkapan ikan terukur. Yakni masih adanya anggapan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur berarti mengkavling laut. "Yang benar adalah kita berikan konsesi kepada pelaku usaha adalah jumlah ikan yang bisa diambil dalam satuan ton per tahun," ucap dia.
Zaini menerangkan, terdapat tiga hal terkait pembagian kuota penangkapan ikan terukur.
Baca Juga: KKP Jamin Pasokan Ikan Aman Selama Ramadan dan Idul Fitri
Pertama, kuota untuk nelayan lokal. Ia menyebut, berapapun kebutuhan kuota untuk nelayan lokal akan dipenuhi.
Pembagian kuota untuk nelayan kecil tidak digunakan sistem kontrak. Kemudian mereka tidak perlu bayar PNBP. "Peraturan perizinan sama seperti yang berlaku sekarang ini, tidak ada perubahan apapun. Hanya kita akan himbau mereka untuk membentuk kelompok-kelompok koperasi supaya lebih kuat," ujar Zaini.
Kedua, kuota untuk non komersial yaitu untuk pendidikan, pelatihan, dan hobi (memancing). Hanya kecil dari 0,01% dari kuota yang ada.
Ketiga, kuota untuk industri. Kuota industri ini akan diutamakan pengusaha-pengusaha kapal atau penangkapan ikan yang sudah ada dan eksis saat ini.
Jika masih terdapat sisa kuota, maka akan ditawarkan kepada investor. Namun investor harus memenuhi persyaratan yang ada. Yakni harus memiliki modal minimal Rp 200 miliar agar bisa ikut dalam penangkapan ikan terukur. Namun persyaratan tersebut tidak berlaku bagi pengusaha eksisting saat ini.
"Tapi yang baru akan masuk saya akan minta Rp 200 miliar supaya jangan pengusaha abal-abal yang masuk, jangan calo-calo yang masuk makanya ketat Rp 200 miliar. Tidak punya Rp 200 miliar mohon maaf tidak boleh ikut masuk kepada sistem kuota ini," jelas Zaini.
Selain itu, dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, semua kapal yang akan menangkap ikan wajib menggunakan anak buah kapal (ABK) dalam negeri dan diutamakan untuk ABK lokal. Sehingga tidak akan ada lagi ABK dalam negeri yang menganggur.
Baca Juga: KKP Bangun Tambak Udang Terpadu Rp 2,25 Triliun
Selanjutnya, hasil ikan yang ditangkap di suatu wilayah pengelolaan perikanan tidak boleh dibawa ke wilayah lain. "Jadi tidak bisa lagi kalau ikan nya ditangkap di Arafura ngga boleh dibawa ke Jawa, dia harus diturunkan di daerah yang bersangkutan supaya pemerintah daerah dan masyarakat di sana merasakan manfaatnya," terang Zaini.
Dengan demikian, akan terjadi penyerapan tenaga kerja, perputaran uang di wilayah tersebut sehingga masyarakat merasakan manfaatnya.
"Penangkapan ikan terukur esensinya selain mengoptimalkan sumber daya, untuk meredistribusi pertumbuhan ekonomi perikanan dari jawa menjadi ke daerah-daerah luar Jawa karena semua kapal kapal yang nanti akan menangkap di wilayah tertentu maka dia harus menurunkan ikan nya di wilayah yang bersangkutan," jelas Zaini.
Lebih lanjut, Zaini mengatakan, berdasarkan kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) pada tahun 2017 terdapat potensi ikan sebanyak 12,5 juta ton. Terbaru, berdasarkanhasil kajian terdapat sekitar 12,1 juta ton ikan.
Baca Juga: Strategi KKP Persempit Celah Penolakan Ekspor dengan Penekanan Standar Mutu Produk
Dari jumlah tersebut, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 9,9 juta ton. "Artinya ikan itu maksimal hanya boleh diambil 9,9 juta ton," ucap Zaini.
Zaini menyatakan, melalui kebijakan penangkapan ikan terukur pemerintah melakukan dua pengendalian. Yakni jumlah kuota yang boleh diambil, dan alat tangkap yang boleh digunakan. Alat tangkap yang merusak dilarang digunakan. "Kita manfaatkan seoptimal mungkin tanpa melanggar aturan tentang pelestarian sumber daya itu sendiri maupun ekologinya," pungkas Zaini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News