Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Hendro Utomo, Rating Director Pefindo Rating Agency mengatakan dari sisi korporasi, masih ada ruang yang sangat besar untuk berkembangnya obligasi berkelanjutan. Di pasar obligasi konvensional sendiri, nilai penerbitan obligasi korporasi di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan ke negara lain. Dengan dukungan kebijakan dan framework dari pemerintah yang diterbitakan pada tahun 2017 lalu, pasar obligasi korporasi berkelanjutan di Indonesia masih sangat potensial.
“Jika kita bandingkan penerbitan obligasi korporasi di Indonesia dengan sumber pembiayaan lain seperti pinjaman bank, rasionya jauh lebih kecil dari negara lain. Jadi menurut saya, obligasi korporasi Indonesia hanya mewakili kurang dari 10 persen dari pinjaman bank, sedangkan negara lain setahu saya sudah lebih dari 20 persen. Dan sayangnya, saya harus mengatakan bahwa korporasi itu sendiri tidak begitu aktif dalam hal produk obligasi berkelanjutan. Setahu saya hanya PT Sarana Multi Infrastruktur, perusahaan pembiayaan infrastruktur milik negara yang menerbitkan green bond pertama di Indonesia. Di luar itu, ada beberapa penerbit obligasi berkelanjutan, tetapi sebagian besar untuk pasar global yang berdenominasi dolar AS dan tidak terdaftar di pasar modal Indonesia. Jadi artinya, kemungkinan besar dari sisi demand emiten lebih disukai untuk menerbitkan di pasar global dari pada di pasar lokal,” kata Hendro.
Baca Juga: Aprindo bersama Sekolah Ekspor dan Bhinneka.Com persiapkan 1.000 UKM siap ekspor
Mervyn Tang, Senior Director and Global Head of ESG Research Fitch Ratings mengatakan kebanyakan bank dan investor memerhatikan ESG, bukan iklim seperti hutan, kelangkaan air, keamanan siber, dan lainnya. Dibandingkan dengan AS dan Eropa, di APAC sendiri, perkembangan obligasi berkelanjutan berjalan lamban namun juga ada perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Terkadang, pelaku pasar bisa mengembangkan frameworknya sendiri karena pendekatan ESG dimasing-masing kawasan berbeda. Di APAC, perekonomian kawasan ini lebih bergantung pada bahan bakar fosil sejauh ini dalam perekonomian.
“Jika orang bersedia membayar lebih untuk obligasi berkelanjutan, mereka berpotensi mendapatkan keuntungan dari perspektif pembiayaan. Sementara jika orang mulai mengecualikan instrumen atau proyek brown seperti bahan bakar fosil, akan ada keterbatasan pembiayaan bagi perusahaan – perusahaan tertentu. Bagi APAC sendiri dan Indonesia, masih banyak ruang yang bisa dimanfaatkan seperti misalnya pembiayaan yang berfokus pada kehutanan berkelanjutan,” kata dia.
Indonesia Economic Forum adalah platform multi-stakeholder yang mempertemukan semua pihak. Indonesia Economic Forum memiliki visi untuk mempromosikan kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia dengan mengidentifikasi tren dan peluang. Sejak didirikan pada tahun 2014, setiap tahun Indonesia Economic Forum telah melibatkan pemerintah Indonesia, masyarakat sipil, komunitas bisnis, akademisi dan organisasi pemuda dalam forum tahunan.
Tahun ini, Forum Indonesia Economic Forum menjadi forum virtual terbesar di Indonesia, dan dihadiri oleh 1.000 peserta dari Amerika Serikat, Australia, India, Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Melalui platform digital, Indonesia Economic Forum telah menjangkau lebih dari 3.000 pemimpin eksekutif dan bisnis senior serta lebih dari satu juta pengikut di Indonesia.
Selanjutnya: Jokowi sebut pusat perbenihan rumpin akan bisa produksi 16 juta bibit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News