Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Economic Forum yang ke-7 mempertemukan para pemimpin politik, bisnis, pemerintah, pemrakarsa dan pemimpin komunitas untuk membahas visi Indonesia di tahun 2020 untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19.
Forum ini pertama kalinya akan diselenggarakan secara virtual pada Selasa-Kamis, 24-26 November 2020. Berkolaborasi dengan HSBC Indonesia untuk ketiga kalinya, Indonesia Economic Forum tahun ini mengusung tema “2020 Vision: Rebooting Economic Growth Post Covid-19.”
Mengutip siaran pers, Senin (30/11), pada hari kedua yang mengambil tema “Emerging Trends in Global Trade”, diskusi panel terbagi dalam 3 sesi. Di sesi terakhir ini, para pembicara membahas keuangan berkelanjutan sebagai jalan menuju pertumbuhan. Selama beberapa tahun terakhir, investor, bank dan lembaga keuangan sudah melihat manfaat nyata dari keuangan berkelanjutan dan terus mengevaluasi kinerja dan kriteria pinjaman mereka.
Dalam pembukaannya, Shoeb Kagda selaku Founder & CEO Indonesia Economic Forum menyatakan saat ini, semakin banyak institusi dan investor yang mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti dampak lingkungan dan sosial dari investasi mereka.
Baca Juga: Warren Buffett: Meminjam uang merupakan hal gila
Menurut Global Sustainable Investment Alliance (GSIA), hampir 30% dari semua aset yang diinvestasikan pada tahun 2018 adalah "investasi yang bertanggung jawab secara sosial" yang memperhitungkan masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
“Indonesia juga sedang bergerak ke arah itu melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Diperkirakan, setiap tahunnya kebutuhan investasi tersebut mencapai US$ 300 miliar hingga US$ 500 miliar. Sebagian besar investasi ini akan dibutuhkan di sektor- sektor penting seperti infrastruktur dan sektor yang sensitif terhadap lingkungan seperti pertanian, kehutanan, energi, pertambangan, dan limbah,” kata Shoeb.
Sean Henderson, Managing Director & Co Head of Debt Capital Markets Asia Pacific HSBC, mengatakan pasar obligasi berkelanjutan merupakan pasar yang bergerak sangat cepat. Nilai penerbitan obligasi berkelanjutan tumbuh dari 16 miliar lembar saham pada tahun 2014 menjadi 110 miliar lembar saham pada 2019.
Obligasi Hijau dan Sosial adalah pasar yang saat ini berkembang pesat, dari hanya senilai US$ 15 miliar yang diterbitkan pada tahun 2015 menjadi US$ 110 miliar pada tahun 2019.
"Kami bangga dapat bekerja sama dengan Indonesia pada saat penerbitan obligasi hijau pertama. Salut kepada pemerintah atas upaya terobosan mereka untuk mengembangkan pasar obligasi hijau di Asia dan memperkenalkannya kepada investor di kawasan ini. Obligasi terkait keberlanjutan adalah bidang pengembangan yang baru dan menarik dan tidak hanya menitikberatkan faktor hijau, tetapi juga pada tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan pengurangan polusi,” kata Sean.
Baca Juga: Pefindo beri peringkat idAAA untuk rencana penerbitan MTN SMF Rp 700 miliar
Isabel Chatterton Regional Industry Director, Infrastructur and Natural Resources, Asia and Pacific, IFC mengatakan, sebagai institusi yang sudah menjalankan pembiayaan berkelanjutan selama 10 - 15 tahun, IFC telah terlibat dalam penerbitan obligasi berkelanjutan global pertama kalinya pad tahun 2013 di pasar keuangan AS. Obligasi berkelanjutan yang terbit tujuh tahun lalu ini masih menjadi obligasi berkelanjutan terbesar yang ada di pasar hingga saat ini.
Hingga hari ini, IFC telah menerbitkan obligasi berkelanjutan senilai US$ 10,4 miliar dalam 20 mata uang.
"Perkembangan di pasar ini sangat pesat dan kami juga berpikir cepat dan bertindak cepat sesuai dengan perkembangan yang ada di pasar. Hingga pertengahan tahun lalu, penerbitan obligasi berkelanjutan dimana kami berpartisipasi telah digunakan untuk membiayai 220 proyek dan harapannya bisa mengurangi jumlah emisi yang luar biasa, setara dengan 2,5 miliar galon bensin. Kami percaya bahwa IFC telah menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan,” kata Isabel.