Reporter: Indra Khairuman | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ekonomi Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang signifikan setelah pengumuman tarif tinggi dari Amerika Serikat (AS). Meski tarif tersebut telah diturunkan melalui negosiasi, hal ini tetap memberikan tekanan pada ekonomi domestik dan bisa berisiko pada daya saing serta lapangan kerja.
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta menyatakan kekhawatirannya tentang pengumuman tarif impor oleh AS yang mencapai 32% AS pada April 2025 lalu. Kebijakan yang merupakan bagian dari Liberation Day Tariffs ini menargetkan lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia, yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 mendatang.
“Dalam sejarah hubungan dagang Indonesia dengan AS, belum pernah ada tarif setinggi ini dikenakan secara menyeluruh pada komoditas kita,” ujar Achmad yang dikutip Kontan.co.id, Rabu (16/7). Ia memberikan gambaran bahwa kebijakan ini layaknya pedagang pasar yang tiba-tiba menaikkan harga tiga kali lipat dari harga biasanya.
Baca Juga: Trump: Kesepakatan Dagang AS–Vietnam Hampir Final, Tarif Turun Menjadi 20%
Setelah hampir sebulan bernegosiasi, tarif tersebut akhirnya bisa diturunkan menjadi 19%. Namun, Achmad menilai persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia sangat memberatkan.
“Indonesia harus membeli produk-produk AS dalam jumlah sangat besar, yaitu US$15 miliar energi, US$4,5 miliar produk pertanian, dan 50 pesawat Boeig seri 777,” jelas Achmad.
Menurutnya, kesepakatan ini menimbulkan ketidakadilan struktural. Ia memberikan gambaran lagi bahwa situasi ini seperti dalam pertandingan sepak bola dimana Indonesia dipaksa bermain dengan hanya sepuluh pemain, dari yang seharusnya sebelas pemain.
“AS mendapat keuntungan ganda, menurunkan defisit perdagangannya dan tetap memungut tarif impor 19%,” kata Achmad.
Achmad mengingatkan tentang dampak utama dari kebijakan ini. Pertama, adanya tekanan pada neraca perdagangan. Kedua, ancaman terhadap lapangan kerja di sektor padat karya. Ketiga, risiko inflasi dan ketahanan pangan.
“Pembelian US$ 4,5 miliar produk pertanian berpotensi menekan sektor pertanian domestik,” ucap Achmad.
Menurutnya, sektor manufaktur seperti tekstil dan elektronik juga rentan terkena dampak ini. “Tarif 19% akan menurunkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS,” tegas Achmad.
Achmad menyebut bahwa kesepakatan ini sebagai bentuk baru dari pemerasan perdagangan.
Baca Juga: Ini Produk-Produk Indonesia yang Terdampak Tarif 19% Trump
“Ini seperti membeli perlindungan mahal dan preman pasar,” tambah Achmad sekaligus memberikan saran untuk perlunya strategi diplomasi yang lebih berdaulat.
Selanjutnya: Tarif Impor AS Turun, Prasasti Menilai RI Fokus Jaga Fondasi Ekonomi Lewat Investasi
Menarik Dibaca: Tarif Impor AS Turun, Prasasti Menilai RI Fokus Jaga Fondasi Ekonomi Lewat Investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News