Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Amerika Serikat (AS) dan China telah sepakat untuk memangkas sementara tarif yang mereka kenakan pada produk impor kedua negara. Akan tetapi, kesepakatan ini dinilai berdampak minim terhadap perekonomian Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik dalam jangka waktu 90 hari. Hal ini membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang selama ini menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, melemahkan rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi menilai bahwa kesepakatan penurunan tarif timbal balik antara kedua negara tersebut tidak terlalu berdampak signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Peluang Ekonomi Indonesia dari Kesepakatan Penurunan Tarif Impor AS dan China
Belajar dari pengalaman dan simulasi kebijakan saat perang dagang 2018–2020, perubahan langsung tarif AS dan China terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tergolong sangat kecil, yakni sekitar 0,05% hingga 0,1%.
“Hal ini dikarenakan ekspor Indonesia ke AS dan Cina dalam konteks barang subtitusi relatif kecil dan pertumbuhan PDB Indonesia selama ini ditopang oleh konsumsi domestik yang angkanya mencapai lebih dari 50% PDB,” tutur Badiul kepada Kontan, Senin (12/5).
Ia menjelaskan bahwa dalam jangka menengah, jika kesepakatan ini mampu mengurangi ketidakpastian global, maka nilai tukar rupiah berpotensi menguat dan tekanan impor akan menurun. Arus investasi asing, seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan portofolio, bisa masuk dan mendorong sektor keuangan serta infrastruktur.
Selain itu, terdapat beberapa dampak potensial lainnya bagi Indonesia. Dengan berkurangnya hambatan tarif antara kedua negara, volume perdagangan global akan meningkat. Akibatnya, kebutuhan terhadap barang subtitusi dari negara ketiga seperti Indonesia bisa menurun dalam jangka pendek.
Pun demikian dengan produk-produk Indonesia yang selama ini masuk ke AS dan China sebagai alternatif, bisa mengalami penurunan permintaan.
Baca Juga: Harga Mobil Baru di AS Melonjak Tajam Akibat Tarif Impor Trump
Kesepakatan ini juga dinilai dapat mengurangi gangguan pada rantai pasok global, terutama untuk produk elektronik, tekstil, dan otomotif yang terdampak langsung oleh perang dagang.
“Tapi ini bisa berdampak positif bagi industri manufaktur Indonesia yang bergantung pada bahan baku/komponen dari Cina dan AS,” ungkapnya.
Selain itu, pada sektor ekstraktif, perbaikan hubungan antara kedua negara bisa berdampak pada kenaikan harga komoditas global seperti batubara, CPO, dan karet yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Namun, menurutnya, peningkatan harga yang terlalu cepat juga bisa berdampak negatif terhadap inflasi domestik.
Akan tetapi, Badiul menyoroti bahwa dampak tidak langsung seperti sentimen pasar, investasi, dan harga komoditas bisa menimbulkan efek berganda yang penting untuk dimanfaatkan secara optimal.
“Tidak kalah penting, pada ketahanan domestik dan kecepatan Indonesia merespons peluang dari stabilisasi hubungan dagang global,” ungkapnya.
Selanjutnya: Kunjungi Tanah Sengketa di Depok, Gubernur Jawa barat Jadi Penengah
Menarik Dibaca: Ancam Posisi KKN di Desa Penari, Jumlah Penonton Film Jumbo Tembus 9,47 Juta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News